Abstrak
Fiqih
merupakan salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Berbeda sifat dengan ketauhidan
(i’tiqadiyyah) dan ahlak (khuluqiyyah)yang qath’i, dia hadir secara dhanny.
Tujuannya untuk lebih mengena terhadap permasalahan yang selalu berkembang dan
rumit. Meskipun demikian, menjadi sangat berkesan kepada kita sebagai wakil
Tuhan untuk selalu dan selalu menggali khasanahnya. Dan hal ini terbuka untuk
berbagai kalangan, dengan catatan adanya verifikasi, terbuka dengan pihak yang
lain, dan tidak memaksakan kehendak. Maka dengan begitu jadilah fiqih itu bukan
merupan aturan-aturan yang memaksa (ahkam) akan tetapi lebih bermartabat yaitu
dengan pemahaman-pemahaman (fahmu).
Keywords:
Fiqih,
Teks, Reader, Author, Otoriter, Otoritative
A. PENDAHULUAN
Kita
tidak bisa menyangkal bahwa kemajuan teknologi, kekhasan budaya, sosiologi, dan
semua hal yang berhubungan dengan sendi-sendi kehidupan akan melekat dan
mengekor kepada Fiqih. Hal-hal itu memang sudah sewajarnya dan semua mengakui
atas pengaruh timbal-baliknya. Akan tetapi menjadi bermasalah ketika terjadi
penggugatan dalam ruh Fiqih secara keilmuan. Fiqih merupakan kajian keilmuan
yang wajib dikembalikan pada cakupan asli yaitu kepada epistemology keilmuan.
Pernyataan tersebut disatu sisi sangat mendapat dukungan yang penuh, akan
tetapi pada sisi yang lain hal ini sangat ditentang dengan bebagai sanggahan,
jalan tempuh, bahkan ketidak ilmiahan.
Salah
satu yang menjadi perdebatan dikalangan para pemikir Islam –hubungannya dengan Fiqih--
adalah studi yang masih tergolong baru yaitu hermeneutika.[1]
Sebenarnya sebagai jiwa keilmuan diwajibkan untuk membuka diri dengan berbagai
tawaran ilmu pengetahuan, berusaha menghindari diri dari jiwa arogansi,
apologetic, dan fanatic. Akan tetapi fakta berbicara lain, timbul
perdebatan yang menarik tentang pemposisian kajian hermeneutika,ada yang
membabat habis kajian ini, ada yang hangat menanggapinya, dan ada yang
menerimanya dengan syarat.
Salah
satu tokoh yang membabat habis hermeneutika adalah Muhammad ‘Imarah. Dia
menulis buku yang berupa sanggahan terhadap hermeneutika yang berjudul “Hadza
Huwa al-Islam: Qira’at al-Nashsh al-Dini Bayna al-Ta’wil al-Gharbi wa Ta’wil
al-Islami”[2]
yang mana dia di dalamnya mengupas bahwa kajian hermeneutika yang diadopsi dari
barat tidak cocok untuk diterapkan dalam al-Qur’an. Dia menuduh bahwa barat
dalam hermeneutikanya berusaha memberitahukan tentang kematian pengarang (mu’allif)
dan pembicara (mutakallim) –bisa disebut juga author—upaya melupakan
maksud pengarang, menembatkan pemahaman subyektif pembaca (reader) pada
posisi yang dimaksud oleh pengarang (author), memandang teks sebagai
sesuatu yang historis dan relative, menempatkan posisi pembaca (reader) sebagai
pengarang (author). Argumentasi inilah yang dilancarkan ‘Imarah untuk
menyerang hermeneutika, bahkan dengan sesama tokoh Islam pun dia menentang
habis-habisan seperti Muhammad arkoun, hasan hanafi, nasr hamid abu zaid.
Ketika orang sudah menggunakan hermeneutika dia sudah “memanusiakan tuhan (ansanat
al-ilah), menuhankan manusia (ta’lih al-insan), menafikan wahyu, dan
menafikan makna obyektif. Bahkan ‘imarah bisa penulis artikan telah menuduh insider
sebagai outsider.[3]
Di
Indonesia sendiri tidak terlepas dari pengaruh yang dicetuskan oleh ‘Imarah,
salah satunya INSIST yang dipromotori oleh Adian Husaini, kemudian pengaruhnya
juga menjalar ke semua elemen masyarakat yang mayoritas Islam bermadzhab.
Setidaknya penentangan kajian hermeneutika di Indonesia dipengaruhi oleh dua
alasan yaitu asumsi bahwa hermeneutika dapat mendangkalkan akidah dan
hermeneutika adalah metode yang diterapkan oleh para ilmuan barat untuk
mengkaji bible. Dua alasan inilah yang cukup ampuh mempengaruhi penolakan
terhadap hermeneutika, masyarakat menjadi arogan terhadap konsep yang dibawa
hermeneutika. Sikap arogansinya karena akibat yang ditawarkan berupa hal yang
dapat mengganggu fundamentalitas keimanan mereka serta membawa wacana yang
dipertegas bersumber dari barat menjadikan masyarakat semakin arogan, ajaib
sekali jikalau mau mempelajari hermeneutika, mendengarkan namanya saja mereka
sudah bermuka masam. Ini tidak lain karena masyarakat kita masih berjiwa
apologetic.
Meskipun
begitu ada sebagian kelompok yang belajar kritis dalam menanggapi wacana
hermeneutika salah satunya yaitu Sahiran Syamsuddin.[4]
Dia tidak menolak total hermeneutika akan tetapi ada konsep-konsep hermeneutika
yang menurut dia bersumber dari outsider yang berjiwa obyektif. Dia
menyontohkan seperti Hans-Georg Gadamer[5],
Jorge Garcia[6],
dan Friedrich Schleiermacher[7],
menurut dia ketiga tokoh tersebut berbeda sekali dengan apa yang dituduhkan
oleh Muhammad ‘Imarah, dan Adian Husaini lebih-lebih masyarakat Indonesia.[8]
Studi
tentang hermeneutika yang jelas merupakan sesuatu hal yang baru dan menimbulkan
beragam persepsi. Hermeneutika bukan hal yang tidak harus dipelajari atau
dilarang. Dia hadir dalam ruang dan dimensi yang untuk sekarang sangat
dibutuhkan. Salah satu bukti adalah apa yang telah dilakukan oleh Khalid abou
el fadl. Dia menyadari sebagai insider sangat butuh dengan peran serta outsider.[9]
Dengan “alat peraba” yang berupa hermeneutika, Khalid berusaha untuk menata
kembali wacana fiqh yang masih beraroma politik dan otoriter. Oleh karena
itulah menjadi kajian yang sangat menarik sekali khususnya pada era sekarang,
dimana di berbagai belahan bumi fiqihnya masih dibumbui “heritage”.
Khalid berusaha meninjau kembali hubungan antara texs, author, and reader
hubungannya dengan fiqih. Dia sangat gelisah ketika mendapati fiqih bukan
sebagai kajian epistemology, melainkan sebagai alat perpolitikan bahkan
keotoriteran.[10]
Inilah sekiranya pada kajian kali ini pemakalah berusaha meninjau langsung
kajian hermeneutika yang ditawarkan oleh Khalid Abou El Fadl terkait dengan
usaha menghidupkan kembali fiqih sebagai kajian epistemology dan metode
penelitian.[11]
B. Sekilas Biografi Khalid Abou El Fadl
Khaled
lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik yang sederhana. Orang
tuanya adalah muslim taat yang sangat terbuka dalam bidang pemikiran. Diakuinya
dengan jujur, bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme
yang memang subur di lingkungannya. Hari-harinya dipenuhi dengan utopia tentang
sebuah ‘kelompok terbaik’ dan ‘kelompok yang mewakili Tuhan’ di atas bumi.
Selain itu, setiap kali bertemu dengan orang, dia menyampaikan ajaran
puritanisme yang dianggapnya paling benar. Tak terasa sebagian masa remajanya
habis tersedot oleh mimpi puritanisme yang membuatnya benci, tertutup,
dan marah-marah pada orang lain di luar kelompoknya. Untunglah Khaled memiliki
orang tua yang shaleh dan terpelajar. Mereka menawarkan berbagai khazanah
keilmuwan Islam dari berbagai aliran kepada Khaled. Maklum saat itu wahabisme
yang menjadi mazhab negara telah menyortir semua bacaan yang harus dibaca oleh
masyarakat. Penguasa yang memiliki kepentingan dengan ideologi wahabisme
menetapkan mana bacaan yang sehat dan tidak sehat untuk masyarakat.
Dengan
bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Khaled mulai
menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis
dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan
dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam.
Kesadaran
akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhrinya
dia menetap di Mesir. Di negeri Piramid tersebut ruang tidak terlalu sesak
seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang
represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau
pencerahan intelektual bagi masyarakatnya.
Namun
bayang-bayang puritanisme tidak pernah redup dalam dirinya. Ketika
menempuh pendidikan lanjutan di Yale University, Amerika Serikat untuk meraih
B.A (Bachelor of Art) kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus
menjadi beban yang tak terhapuskan. Namun tugas-tugas belajar menyedot
energinya. Selepas dari Yale tahun 1986 Khaled melanjutkan ke University of
Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1999 dia melanjutkan
ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies yang
pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Akhirnya di UCLA
pula ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Selama menempuh
kuliah, Khaled sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona.
Pernah juga menjadi praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi.[12]
Saat
ini selain menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Khaled mengajar di Princeton,
University of Texas, dan Yale university. Terlibat juga sebagai aktivis dalam
bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board
name pada Directors of Human Rights Watch dan Comission on International
Relegious Freedom di Amerika Serikat.
Di
kenal oleh banyak teman dekatnya sebagai penggemar berat musik, terutama musik
Arab. Dia penggemar berat legenda Diva Arab (Sayyidah al-Ginaa ) Ummi Kultsum.
Sambil mendengarkan musik, hari-harinya diisi dengan membaca koleksi
buku-bukunya yang mencapai kurang lebih 40.000 koleksi di perpustakaan
pribadinya.
Sebagai
pakar dan aktivis hukum, Khaled dikenal sebagai penulis yang
prolifik—produktif, antara lain :
a Islam
and the Chelllengge of Democracy (Princeton University Press, 2004)
b The
Place of Tolerance in Islam (Cambridge University, 2001)
c Rebellion
dan Violence in Fiqih ( Cambridge University, 2001)
d Speaking
in Gods Name: Fiqih, Authority, dan Woman ( Oneworld Publication, 2001)
e And
God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic
Discourse (2001)
f Conference
of The Books: The Search for the Beauty in Islam (2001)
g The
Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourse (2001)
Selain
menulis buku, Khaled memiliki paper kuliah yang berjumlah ratusan dan artikel
di media massa yang tak terhitung. Produktivitas menulisnya sangat jelas
didukung oleh penguasaan yang luas atas khazanah klasik Islam dan keilmuwan
kontemporer. Siapapun membaca karya-karya Khaled akan menemukan dan merasakan
adanya komunikasi atau dialog antara khazanah klasik Islam dengan khazanah
pengetahuan kontemporer tanpa perbenturan dan konflik seperti yang sering
dikhayalkan banyak orang.[13]
C. Texs, Author,
and Reader (Pengkajian Ulang Dalam Fiqih Otoriter)
Hans-Georg
Gadamer[14]
dalam konsep hermeneutikanya memberikan arahan tentang metode-metode yang
digunakan dalam bernalar hermeneutika. Pertama, affective history (sejarah
yang mempengaruhi seseorang), pola fikir dan tindakan seseorang pasti dipengarui
oleh pengalaman sejarahnya. Bisa jadi karakter yang ditampilakn berkat
pertimbangan-pertimbangan yang diproses melalui hasil interaksinya dengan
berbagai kasus yang pernah dia alami. Kita tahu bahwa tiada ilmu yang paling
berharga kecuali pengalaman. Saya, anda, dan semua manusia hidup dalam ruang
dan waktu yang selalu berubah, dan itu mengakibtakan pengalaman kesejarahan
yang berbeda pula. Tidak jarang dan pasti itu sunatullah bahwa corak
pandang dan persepsi orang berbeda-beda dalam menghadapi suatu permasalahan,
permasalahan yang dihadapi sama akan tetapi solusi yang muncul beragam. Oleh
karena itulah affective history[15]
tidak boleh dilupakan –lemah dan harus mengakar kepada jiwa manusia sebagai
ciri khas tingkah laku, cara kerja, dan pola berikir.
Kedua,
preundestanding (prapemahaman), hal ini hubungannya sangat erat dengan affective
history. Dalam berbagai hal pemahaman seseorang dibentuk dengan
pemahaman-pemahaman sebelumnya. Antara satu orang dengan orang yang lain jelas
tidak sama. Suatu teks bisa diartikan dengan berbagai pemahaman sesuai dengan
prapemahaman orang yang bersangkutan, benar-salah dan kuat-lemahnya argumentasi
yang ditawarkan bagaimana prapemahamannya. Dengan begitu kebenaran itu harus
terbuka, bisa jadi kebenaran berasal dari orang lain atau kebenaran muncul
karena terjadi diskusi antara subyektifitas yang kemudian membentuk
obyektifitas kebenaran.
Ketiga,
penggabungan atau asimilasi horizon dan line circle of hermeneutika
(garis lingkar hemeneutik). Kaitannya dengan hal ini ada yang dinamakan
cakrawala pengetahuan atau horizon dalam teks dan cakrawala pemahaman atau
horizon dalam jiwa reader. Penggabungan atau asimilasi antara keduanya
membentuk yang namanya line circle of hermeneutika. Pembaca boleh sesuka
hatinya memahami suatu teks yang ada didepannya. Dia boleh berpendapat sesuai
dengan hasil pemahamannya tersebut. akan tetapi yang menjadi catatan bahwa dia
tidak boleh mengclam bahwa pendapatnya yang pasti dikarenakan itu hanya
merupakan pemahaman kemungkinan yang kemudian disebut pemahaman “subyektifitas”.
Teks mempunyai pengetahuan tersendiri dan ini berimbas pada keobyektifitasan
pemahaman. Ketika terjadi pertentangan antara subyektifitas dan obyektifitas
maka yang dimenangkan adalah pengetahuan yang ada dalam teks itu sendiri.
Reader dituntun hanya untuk menggali pemahaman dan tidak boleh berotoritatif
terhadap pemahamannya, dalam artian harus pemahaman yang otoritative.
Keempat,
penerapan atau aplikasi, kitab suci sebagai teks sudah final dalam artian sudah
tidak ada penambahan lagi. Teks yang sudah final tersebut dihadapkan kepada
para reader atau penafsirnya dengan berbeda masa antara mereka. Untuk
menghidupkan kembali teks, harus dibangun pemahaman bahwa teks itu sebenarnya
bukan obyek kajian yang final. Ada hal lain yang mendorong pergerakan teks bisa
diterima disemua masa yaitu para penafsir untuk mampu menggali makna yang
terdalam dari teks tersebut.
Pergulatan
antara teks, author, dan reader memang merupakan
keniscayaan. Keniscayaan tersebut membuat Khalid memberanikan diri untuk
mengkaji ulang posisi fiqih yang pada era sekarang tidak pada porsi
epistemology. Fiqih sebagai disiplin ilmu keIslaman tidak terlepas dari teks
keagamaan yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Itulah sebabnya sejak awal para ulama
mematok bahwa studi fiqih murni merupakan studi keilmuan. Peran ulama (reader)
pada waktu itu dalam pemosisiannya sangat berhati-hati dalam memosisikan diri
dalam lingkup pemahaman teks keagamaan (al-Qur’an dan al-Sunnah) yang merupakan
hudan dari Allah (author).
Fiqih
sebagai hasil pemahaman antara pergulatan reader, teks, dan author
menjadi bermasalah ketika dalam diri reader timbul keberwenangan yang
disebut despotism. Reader memang diberi wewenang untuk menggali teks
dengan besungguh-sungguh. Akan tetapi pada saat reader merasa bahwa hasil
pemahamannya benar, sehingga dia memposisikan terhadap apa yang telah dia
cetuskan merupakan kehendak author itulah despotism. Hal inilah yang
menjadikan era fiqih sekarang menjadi era fiqih yang otoriter. Hal ini
merupakan hal yang terlupakan (forgotten) dikalangan umat Islam. Kajian
fiqih pada era sekarang khususnya tinjauan lembaga fatwa dan para ahli hukum Islam
terjebak dalam kubangan yang mendistorsi khasananh keilmuan fiqih. Otoritas
mujtahid menjadi mengejala disetiap hasil fatwanya, keberwenangan sumber dan
wakil-wakil dari penyampai sumber tersebut, kemudian yang lebih parah lagi despotisme
intelektual (istibdad bi al-ra’yi).[16]
Jangan heran ketika muncul fatwa yang sangat berat sebelah, seperti wanita
lebih baik sholat di dalam rumah, wanita merupakan second pathner bagi
laki-laki, wanita dalam pemosisiannya dengan laki-laki sangat ketergantungan “suargo
manut, neroko katut”, sikap patriarki menggejala disemua lini kehidupan.[17]
Kesemua hal itu menjadikan fiqih berubah menjadi budaya hukum yang dipengaruhi
unsur politik kemudian fiqih yang diidam-idamkan oleh para ulama dahulu sebagai
khasanah perbedaan yang “mengasyikkan” berubah menjadi budaya hukum yang
didekte (pemaksaan). Seolah-olah lembaga fatwa dan para ahli hukum
menjustifikasi pendapatnya sebagai kehendak Allah. Menjadilah hukum Islam sebagai
seperangkat aturan (ahkam) bukan sebagai pemahaman (fiqih).
D. Berotoritas
Hanya Secara Konseptual
Otoritas
sebenarnya masih mendapatkan posisi dalam wacana hukum Islam. Kurang lebih
otoritas yang ditawarkan harus beracuan rasional normative, maksudnya
hukum yang ditawarkan haruslah yang menjujung nilai kerasionalitasan bukan
merupakan sesuatu yang akal fikiran manusia tidak bisa menganalogikakan.
Kemudian otoritas itu juga bisa subur pada saat berkeadilan bukan merupakan
fatwa yang berat sebelah apalagi menguatkan dominasi patriarki.
Kesejahteraanlah yang kemudian menjadikan otoritas penuh dukungan untuk
dipertahankan.
Otoritas
dalam acuan hermeneutika mengacu bahwa peran reader hanya menyampaikan apa telah dia fahami dari teks tersebut. Kita
tidak bisa menolak bahwa adanya teks itu bisa bersuara harus ada yang
menyuarakan yaitu manusia sebagai reader. Kode etiknya adalah manusia dalam hal
ini memang mempunyai wewenang dalam menentukan pemahamannya tapi, harus
dibingkai dengan keberwenangan yang derivative dan otoritatif.
E. Problematika
Teks Antara Kebekuan Dan Kecairannya
Usaha
untuk menanggulangi kebekuan teks melibatkan bagaimana interaksi antara reader,
teks, dan author. Seorang mujtahid sudah barang tentu menggali makna teks agar
sampai kepada kehendak Allah. Makna tersebut menjadi kebenaran yang murni manakala
dalam berijtihadnya harus dengan ketulusan hati tanpa ada motifasi apapun.
Semua mujtahid sebenarnya berpotensi untuk sampai kepada apa yang dimaksudkan
oleh author akan tetapi ada mujtahid yang dalam berijtihad termotifasi oleh
nafsu yang hasil dari pada ijtihadnya menjadi antitesi kebijakan dan ini yang
menjadikan teks mengalami kebekuan. Di satu sisi ada mujtahid yang dalam
berijtihad termotifasi dengan “petunjuk” sehingga hasil ijtihadnya mampu untuk
diprediksi, berkonsistensi dan mempunyai rujukan yang otoritatif. Dengan model
yang kedua inilah kebekuan teks akan menjadi tercairkan.
Hal
lain yang harus diperhatikan adalah meniadakan kefinalitasan
(kesewenang-wenangan). Hal inilah secara fakta menjadikan reader berpisisi
tidak sebagai reader, dia akan bersikap sewenang-wenang dengan fatwa atau hasil
ijtihadnya yang kemudian menjalar kepada pemaksaan pemahaman. Kebekuan teks
tercermin dengan timbulnya faham tertutupnya pintu ijtihad yang kemudian
berlanjut dengan timbulnya despotic, lebih-lebih timbulnya penasiran
tunggal yang kemudian melanggar intergritas author dan teks.
Nabi
Muhammad menyatakan bahwa semua mujtahid benar, dalam berijtihad mendapatkan
pahala satu porsi untuk usahanya satu lagi untuk kebenarannya, jika salah dia
tetap dihargai karena jerih payahnya dengan mendapatkan satu pahala. Memang
sangat perlu diperinci tentang mujtahid itu sendiri, Khalid membahasankan bahwa
manusia sebagai wakil Tuhan berimbas pada semua manusia berpotensi untuk
bersungguh-sungguh dalam menentukan perilakunya. Dia mengistilahkan akan wakil
khusus dan wakil umum. Baik wakil khusus terbagi lagi menjadi dua yaitu
muqallid dan mujtahid, keduanya sah disebut sebagai ahli hukum. Sebagai
muqallid dituntut berhukum berdasarkan kenormatifan dan doktrin yang diyakini. Ini
mengartikan bahwa dalam bertaqlid, muqallid tidak terjebak dengan taklid buta.
Doktrin yang dia yakini kebenarannya hanya sebagai jembatan untuk
menghubungkannya dengan dalil yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Amalan-amalan dan
ketetapan hukum harus diyakini kebenarannya dengan menyantumkan kenormatifannya.
Selanjutnya
sebagai wakil khusus yaitu mujtahid yang kemudian dibingkai atas nama madzhab
berusaha dan bersungguh-sungguh untuk mencari jawaban yang benar dari
permasalahan yang ada. Harus diakui bahwa hal tersebut tidak mudah bahka sulit
untuk secara mutlak menemukan kebenaran, apalagi disangkutkan dengan persoalan
agama. Mujtahid dalam konteks seperti ini yang bisa dilakukan yaitu melakukan
hal terbaik, berusaha menemukan ketentuan yang tepat dan sekuat tenaga untuk
melakukan daya dan upaya. Dengan hal-hal itu usaha untuk mencapai maksud yang
diinginkan akan ternilai. Mujtahid kaitannya dengan hukum Tuhan dalam
pelaksanaanya harus berusaha bertanggung jawab, penuh pertimbangan, dan
bersunguh-sungguh dalam hal penggalian, penyimpulan, dan penerapannya.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa ketika pintu ijtihad dibuka kemudian fiqih dikembalikan
kepada kajian epistemology akan berdampak kepada pluralism madzhab yang tidak
terkendali.[18]
Sehingga ahli hukum yang mana dan yang bagaimana untuk selanjutnya terpakai ?
ahli hukum yang banyak diminati oleh masyarakat, namanya menggema diseluruh
penjuru, kajian-kajian ilmiahnya selalu dibanjiri oleh masyarakat, pengajaran
dan karya-karyanya diminati oleh mayoritas masyarakat adalah ahli hukum yang
sebenarnya. Adapun ketika dia sudah wafat maka makamnya selalu diziarahi oleh
banyak orang. Semua itu bisa terwujud lantaran dalam menggali hukum dilakukan
dengan bersungguh-sungguh. Sebagai contohnya system tarjih yang dilakukan oleh para
mujtahid bukan merupakan hal yang akal-akalan belaka, hadits diteliti dari segi
keautentikannya guna menjadi pijakan untuk dijadikan ketentuan hukum, banyak
ketentuan yang berlaku untuk mengautentikan hadits dan ini menjadikan
kridibilitas ijtihadnya tergolong bersungguh-sungguh.
Wakil
yang kedua adalah yang bersifat umum menyangkut masyarakat luas atau
orang-orang awwam. Kalangan ini juga dituntun untuk bersungguh-sungguh bukan
dalam kajian sebagaimana wakil khusus tetapi berusaha untuk menyelidiki dengan
kritis terhadap hukum-hukum yang telah digali oleh wakil khusus. Dia boleh saja
menerima pandangan yang ditawarkan bisa juga menolaknya. Ini semua sebagai
usaha untuk mengurangi pengaruh despotism.
Untuk
menyairkan teks dari kebekuannya karena pengaruh despotism bisa dicegah harus
adanya gerakan baik dari kalangan wakil khusus dan wakil umum. Gerakan-gerakan
tersebut sebagian sudah dijelaskan akan tetapi untuk lebih jelasnya sebagai
berikut, yaitu kejujuran (honesty),
kesungguhan (diligence), pengendalian diri (self restraint),
pengetahuan (comprehensive), dan keshalehan/kebijaksanaan (reasonableness).[19]
F. Menatap Masa Depan Fiqih (Dari Otoriter ke
Otoritatif)
Khalid
dalam kajiannya telah menyebutkan bahwa lembaga-lembaga yang menaungi masalah
fatwa seperti CRLO (council for scientific research and legal opinion,
(al-lajnah al-da’imah li al-buhuts al-‘ilmiyyah wa al-ifta’) lembaga
pengkajian ilmiah dan fatwa) telah melakukan tindakan yang dengan berlandaskan
nash mengklaim bahwa itulah yang sebenarnya “dikehendaki oleh Tuhan”. Hal
inilah yang kemudian menyebabkan nash kehilangan peran serta secara mutlak,
terbukti ketika membaca fatwa yang ada keterkaitannya dengan wanita, semuanya
mengacu kepada ketidak adanya demokrasi dalam realitas kehidupan. Teks tak ubahnya
dipandang sebagai alat penggehemoni, reader dengan keperkasaan dan
kewenangaannya menutup peluang terbukanya teks, apalagi dengan mengatasnamakan
tuhan, sikap yang tercermin merambah pada keotoriteran fatwa yang dicetuskan.
Hadits-hadits yang berbau misogenis seperti perempuan lebih baik sholat
dirumah, perempuan ketika menolak ajakan suami pada malam hari akan mendapat
laknat sampai pagi hari, kepatuhan perempuan terhadap suami akan menjadi bekal
dia masuk surga, dan masih banyak lagi hadits-hadits yang digunakan untuk
mengokohkan kepatriarkian dengan system koersif. Untuk itulah ke depan Khalid
menghendaki bahwa kajian hadits tidak hanya mempertimbangkan shahih dan
tidaknya akan tetapi lebih pada kandungan hadits yang lebih bermartabat. Selain
itu kajian fiqih harus dikembalikan
kepada apa yang telah dicontohkan oleh para ulama yaitu sebagai murni kajian
keilmiahan. Apa yang dicontohkan para ulama patut dicontoh sepeti tidak jarang
dalam hal berpendapat mereka tidak ragu-ragu untuk menyantumkan pendapat-pendapat
ulama yang lain (dalam redaksinya qala wa qila). Hal ini menggambarkan
bahwa sikap para ulama benar-benar memurnikan kajian fiqih. Sesama ulama tidak
jarang bahkan sering mendiskusikan rumusan-rumusan fiqih dalam kaidah-kaidah
masing-masing untuk mencari titik temu secara obyektif yang kemudian para wakil
umum dihadapkan untuk memilih pendapat yang mereka lebih mengena. Dengan begitu
nuansa demokratis dalam berhukum sangat dijunjung tinggi.
Kenyataan
di atas menjadi fondasi epistemology fiqih agar mudah untuk ditata kembali.
Penataan itu harus didukkung dengan adanya pilar-pilar yang bisa menjadikan
acuan sepanjang masa. Setidaknya hal itu tercermin baik secara normativitas
maupun secara historisitas.[20]
Secara normative al-Qur’an dengan tegas menyatakannya yaitu tercermin dalam
surat yusuf ayat 76 (wa fauqa kulli dzi ilmin ‘alimun)[21]
“di atas orang yang berilmu pasti ada yang lebih berilmu lagi”, atau dalam
pribahasa Indonesia “di atas langit masih ada langit”. Dalam hadits juga
dipertegas dalam kaitan duniapun nabi menghendaki supaya kita jangan berbangga
hati (undluru ila man huwa asfala minkum, wala tandluru ila man huwa
fauqakum, fahuwa ajdaru anlatajdaru ni’matallahi ‘alaikum)[22],
“perhatikanlah orang yang ada di bawahmu, jangan engkau melihat orang yang ada
di atasmu, karena hal itu akan menyadarkan supaya tidak mengindahkan nikmat
yang telah Allah berikan kepadamu”. Sehingga jika kita memaknai secara bebas
bahwasannya tidak ada yang berkuasa didunia ini, asumsinya ketika ada orang
yang sudah dipandang pakar dibidangnya pasti ada orang lain yang lebih pakar
lagi, begitu seterusnya. Ini mengartikan bahwa semuanya harus mengacu pada
kerendahan hati menerima kritik dan sanggahan. Kita tidak bisa menjustifikasi
tentang pendapat kita, karena boleh jadi pendapat-pendapat tersebut terasa
“aneh” di hadapan orang lain yang lebih mengetahui. Dipertegas lagi oleh hadits
nabi bahwa kita harus memposisikan diri kaitannya dengan nikmat yang Allah
berikan kepada orang yang selalu dan selalu melihat orang lain yang belum tentu
mendapatkan nikmat serupa, akan tetapi untuk kajian keilmuan kita harus
memandang orang-orang yang berada di atas kita. Ini semua tujuannya hanya satu
yaitu menghilangkan sifat “keakuan” yang terdapat dalam diri kita. Inilah
sekiranya akan menjadikan fiqih akan selalu bisa dikontekstualisasikan, karena
setiap tempat dan waktu selalu dikoreksikan, memperbaiki pemahaman, dan
menghidupkan kembali semangat keilmuan manurut al-Qur’an dan al-Hadits.
Pilar
yang selanjutnya adalah historisitas yang ditampilakn oleh kebiasaan para
ulama-ulama dalam karya-karya tulisannya. Sepanjang sejarang telah dijumpai
berapa kali kata terucap dari para ulama menyangkut huwa allahu a’lamu bi
al-shawab “dialah Allah yang paling mengetahui yang terbenar”[23].
Dari kalimat tersebut ditegaskan bahwa kata a’lamu merupakan isim tafdil
yang menunjukkan arti paling/lebih, ini untuk mengantarkan pembaca bahwa
sepintar-pintarpun seseorang tidak akan bisa menandingi pengetahuanNya.
Seseorang hanya dituntut untuk berusaha mencari kebenaran, akan tetapi usaha
tersebut belum tentu membuahkan kebenaran yang dimaksudkan. Penilaian kebenaran
tersebut dengan seberapan payahnya orang berusaha, tidak pada inti yang
ditemukan. Walapun dia sudah menyakini penemuannya akan tetapi harus berusaha
semaksimal mungkin menghindari diri dari sikap kesewenangan, boleh jadi bukan
kebenaran itu yang diinginkan oleh Allah.
Dua
pilar itulah yang digunakan oleh para pengkaji hukum Islam pada era klasik dulu
yang terbukti fiqih benar-benar pada wujud aslinya yaitu benuansa epistemology.
Pada era sekarang kebiasaan klasik tersebut harus dipertahankan karena terbukti
kemanjurannya, akan tetapi perlu ditambahi adanya “rasa keadilan, kemanusiaan
yang beradab, dan kepastian hukum”. Dengan beritu fatwa-fatwa yang telah
disimpulakan tidak berupa kertas-kertas yang hanya untuk memenuhi perpustakaan
melainkan bisa terpraktekkan secara konkrit dalam realita kehidupan, tidak
hanya sebagai wacana keagamaan, atau tidak hanya sebagai suatu proses pemenuhan
rutinaitas yang tidak ada tindak lanjutnya. Yang tentunya hal tersebut perlu
adanya kerja sama dari semua pihak, baik keberwenangan pemerintah kaitannya
dengan lembanga-lembaga fatwa, kejujuran, kemurnian, kesungguh-sungguhan dari
para ahli hukum, dan kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Itu semua juga
harus diback-up dengan melibatkan hukum Islam dengan kemunitas masyarakat atau
sekelompok masyarakat penafsir dari berbagai latar belakang keahlian dan
keilmuan. Dengan maksud nantinya fiqih tidak lagi terjebak dalam kubangan authoritarianism.
Kita harus sadar bahwa ke depan tantangan semakin nyata yang rumit, butuh
perhatian yang serius terhadap kajian hukum Islam. Sebagai salah satu usahanya
yaitu Khalid mengembalikan ilmu yurisprudensi Islam sebagai sebuah epistemology
dan sekaligus sebagai metode penelitian (a methodology of inquiry).
Dengan begitu penjagaan konsep yang digagas oleh para pendahulu berupa peranan ‘aql
(intelect), fithrah (intuition), atau husn dan qubh (moral dan immoral)
bisa dikembangkan lebih lanjut pada era yang akan datang.
G. PENUTUP
Keterbukaan
teks harus terus dipertahankan guna untuk mengimbangi dan menghidupkan kembali
teks tersebut. Ketertutupan teks akan mengakibatkan buntunya penggalian makna
terdalam yang diusung oleh teks itu sendiri. Kita sebagai wakil Tuhan yang
diserahi tugas di dunia ini berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menggapai
makna yang terdalam tersebut. Sifat keilmiahan harus juga kita terapkan
kaitannya dengan hal ini. Sikap despotism harus dihilangkan karena hanya
akan menghidupkan dan menggembangkan authoritarianism, tidak untuk
memberikan nafas segar bagi masa depan yurisprudensi Islam. Hadlaratu
al-nashsh telah memberikan bukti baik dari normatifitas maupun historisitas
tentang peniadaan authoritarianism tersebut. semangat membuka
diri dengan prinsip kejujuran, kebijaksanaan, kesungguhan, pengendalian diri,
dan pengetahuan yang luas akan menjadi kunci pokok terciptanya rasa keadilan
dan kepastian hukum yang menzaman.
|
|||||
|
|||
Skema 1 : Sikap yang
harus dihindari
|
|||
Skema 2 : Sikap yang
harus dikembangkan
“Wa
fauqa kulli dzi ilmin ‘alimu, Wa Allahu a’lamu bi al-shawab”
Daftar
Pustaka
Abdul
Ra’uf, Muhammad, Outsiders’ Interpretations of Islam a Muslim’s Point of
View, dalam Richard C. Martin, ed. Approaches to Islam in Religious
Studies Tucson: The University of Arizona, 1985.
-------,
Interpretasi Orang Luar Tentang Islam; Sudut Pandamg Orang Islam dalam
Pendekatan Kajian Islam Dalam Studi Agama, terjemahan oleh Zakiyyudin
Baidlawy judul asli Outsiders’ Interpretations of Islam a Muslim’s Point of
View, dalam Richard C. Martin, ed. Approaches to Islam in Religious
Studies, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002.
El
Fadl, Khalid Abou, Speaking in God’s Name, England:
Oneworld Oxford, 2003.
--------,
Atas Nama Tuhan dari Fiqih Otoriter ke
Fiqih Otoritatif, Terjemahan oleh R. Cecep Lukman Yasin judul
asli Speaking in God’s Name, Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta, 2004.
--------,Melawan Tentara Tuhan, Terjemahan
oleh Kurniawan Abdullah judul asli And
God Knows The Soldier: The Authoritative And Authoritarian in Islamic
Discourse, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003.
An-Nawawi,
Imam, Riyadlu al-Shalihin, al-Maktabah al-Syamilah, tt.
‘Imarah,
Muhammad, Hadza Huwa al-Islam: Qira’at al-Nashsh al-Dini Bayna al-Ta’wil
al-Gharbi wa Ta’wil al-Islami, Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dualiyyah, 2006.
Gadamer,Hans-Georg,
Truth and Method, New York: The Seabury Press, 1975.
--------,
Hermeneutics, Religion, and Ethics, New Haven and London: Yale
University Press, 1999.
Garcia,
Jorge, A Theory of Textuality: The
Logic and Epistemology, Albany: State University of New York Press, 1991.
Khaldun,
Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Daru al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, 2006.
Marwah,
Hasan Basri [Peneliti pada Lembaga Studi Islam Progresif (LSIP) dan P3M
Jakarta], di http://www.islamemansipatoris.com
Nasution,
Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2002.
Rahman,
Fazlur, Approaches to Islam in Religious Studies, dalam Richard C.
Martin, ed. Approaches to Islam in Religious Studies Tucson: The
University of Arizona, 1985.
Schleiermacher,
Friedrich, Hermeneutics and Criticism and Other Writing. Terj. Andrew
Bowie, Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Syamsuddin,
Syahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta:
Pesantren Nawesea Press, 2009.
--------,
hermeneutika = dekonstruksi? Kritik oleh Muhammad ‘Imarah, (artikel yang
disampaikan daam acara bedah buku hermeneutika dan pengembangan Ulumul Qur’an
yang diselenggarakan oelh Yayasan Nawesea pada hari Selasa, 14 Desember 2010 di
gedung Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
[1] Hermeneutika diambil dari bahasa
yunani, yakni hermeneuein, yang berarti “menjelaskan” (elkalren, to explain).
Kata tersebut kemudian diserap dalam bahasa Jerman hermeneutic dan dalam
bahasa Inggris hermeneutics, Hans-Georg Gadamer dalam artikelnya “Classical
and Philosophical Hermeneutics” mengemukakan bahwa sebelum digunakan dalam
disiplin keilmuan istilah tersebut merefer pada practice/tehne (sebuah
aktifitas) penafsiran dan pemahaman. Syahiran Syasuddin, Hermeneutika dan
Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009),
hal. 5. Lebih lanjut dengan mengutip pemaparan Ben Vedder dalam bukunya Was
ist Hermeneutic? Sahiran menjelaskan empat terma tentang keberagaman dan
kebertingkatan definisi hermeneutika yang antara satu dengan yang lain saling
terkait. Empat terma yang dimaksud adalah hermeneusie yaitu die
inhaltliche arklaerung oder interpretation eines texse, kunstwerkes oder des
velhaltens earner person (penjelasan
atau interpretasi sebuah teks, karya seni atau perilaku seseorang). Hermeneutic:
jika seseorang kemudian berbicara tentang regulasi atau aturan, metode atau
strategi/langkah penafsiran, maka dia sedang berbicara tentang hermenutika. Philosophische
hermeneutic: hermeneutika filosofis tidak lagi membicarakan metode
eksegetik tertentu sebagai obyek pembahasan inti, melainkan hal-hal terkait dengan “conditions of the
possibility” (kondisi-kondisi kemungkinan) yang dengannya seseorang dapat
memahami dan menafsirkan sebuah teks, simbul, atau perilaku. Hermeneutische
philosophie: adalah bagian dari pemikiran-pemikiran filasfat yang mencoba
menjawab problem kehidupan manusia dengan cara menafsirkan apa yang diterima
manusia dari sejarah dan tradisi. Dari keempat terma tersebut hermeneutika
dapat diartika secara sempit dan luas, secara sempit adalah membahas metode-
metode yang tepat untuk memahami dan menafsirkan hal-hal yang perlu
ditafsirkan, seperti ungkapan-ungkapan atau simbul-simbul yang berbagai factor
sulit dipahami. Dalam arti luas adalah cabang ilmu pengetahuan yang mebahas hakekat
metode dan syarat serta persyaratan penafsiran. Lebih lanjut lihat Syahiran Syamsuddin, Ibid, hal. 7-11.
Noeng Muhajjir mengkategorikan hermeneutika ke dalam sub cabang ilmu
pengetahuan logika bahasa, dia membagi logika menjadi 5 sub cabang yaitu
platonic, sosial, intrinsic, semiotic, dan hermeneutic. Disampaikan pada
mata kuliah Filsafat Ilmu: Topic-Topik Epistemology pada Prodi Hukum
Islam Konsentrasi Hukum keluarga kelas B, Program Pasca Sarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
[2] Muhammad ‘Imarah, Hadza Huwa
al-Islam: Qira’at al-Nashsh al-Dini Bayna al-Ta’wil al-Gharbi wa Ta’wil
al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dualiyyah, 2006), hal: 13.
[3] Dalam artikel yang berjudul hermeneutika
= dekonstruksi? Kritik oleh Muhammad ‘Imarah oleh Sahiran Syamsuddin yang
disampaikan daam acara bedah buku hermeneutika dan pengembangan Ulumul Qur’an
yang diselenggarakan oleh Yayasan Nawesea pada hari Selasa, 14 Desember 2010 di
gedung Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[4] Syahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan
Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009). Dalam buku tersebur
sahiron membahasa 3 pembahasan, pertama membahas tentang definisi, ruang
lingkup, dan sejarah singkat perkembangan hermeneutika, kedua membahas ragam dan
aliran hermeneutika (umum) modern, menyangkut aliran obyektivis, aliran
obyektivis-cum-subyektivis, dan aliran subyektivis: pasca-strukturalisme
sebagai sorotan, ketiga membahas relevansi hermeneutika dalam pengembangan ilmu
tafsir/Ulumul Qur’an menyangkut interasi ilmu dalam tradisi dan khasanah islam,
argumentasi visibilitas hermeneutika untuk diintegrasikan ke dalam Ilmu Tafsir,
kemiripan aliran hermeneutika umum dan tripologi pemikiran tafsir kontemporer,
dan signifikansi hermeneutika bagi pengembangan Ilmu Tafsir/Ta’wil.
[5] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, New
York: The Seabury Press, 1975. Lihat juga Hans-Georg Gadamer, Hermeneutics,
Religion, and Ethics, New Haven and London: Yale University Press, 1999.
[6] Jorge Garcia, A Theory of
Textuality: The Logic and Epistemology, (Albany: State University of New
York Press, 1991)
[7] Friedrich
Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writing. Terj.
Andrew Bowie, (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
[8] Hal ini disampaikan oleh Sahiran
pada saat bedah bukunya yang berjudul Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
Qur’an di Treatikal Perpus UIN Sunan Kalijaga.
[9] Pembahasan tentang insider and
outsider secara lebih lanjut bisa dibaca di buku Richard C. Martin, ed. Approaches
to Islam in Religious Studies Tucson: The University of Arizona, 1985.
Dalam buku tersebut menyantumkan dua tokoh yaitu Muhammad Abdul Rauf yang
berjudul Outsiders’ Interpretations of Islam a Muslim’s Point of View dan
Fazlur Rahman pada penutup buku tersebut yang berjudul Approaches to Islam
in Religious Studies. Ra’uf dalam sudut pandangnya bersih kukuh bahwa barat
dalam mempelajari Islam bermotif kolonialisme, modernism yang
digembar-gomborkan oleh barat tidak harus diterapkan di al-Azhar dengan merobak
kurikulum yang ada. Ra’uf beranggapan bahwa sebagai outsider, barat tak
ubahnya sebagai pihak yang berusaha mengobrak-ngabrik islam melalui Islamic
Studies. Meskipun terlihat sangat tegas Ra’uf menilai bahwa Islamic
Studies yang dilakukan oleh barat harus diverifikasi, dengan begitu
pasti ada manfaat yang bisa diambil, minimal bisa menambah wacana di
perpustakaan. Fazlur Rahman dalam pandangannya lebis bersikap moderat,
maksudnya selain untuk menegaskan posisi Ra’uf, rahman juga perpendapat agar
antara insider dan outsider harus ada sikap yang obyektif dalam Islamic
Studies.
[10] Hal inilah menjadikan Khalid
berani dengan tegas untuk menegaskan bahwa ada upaya-upaya yang sebenarnya
sangat berpengaruh besar dalam pembentukan hokum akan tetapi kebanyakan orang
lupa akan hal itu yaitu sikap keotoriteran. Sikap ini memang tidak terasa bagi
(bahasanya Khalid) tentara-tentara Tuhan, akan tetapi sangat berlawanan dari
mental keilmuan. Jika dalam bahasanya Muhammad arkoun menyatakan bahwa kultur
islam selalu didera dengan problem tentang “yang tak terfikirkan” (unthought),
dan “yang tak terpikirkan”(unthinkable), dalam kasus ini Khalid membahasakan
dengan “yang terlupakan”. Khalid Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan, Terjemahan oleh Kurniawan
Abdullah (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), hal. 49-50
[11] Khalid Abou El Fadl, Speaking in God’s
Name, (England: Oneworld Oxford, 2003). Dalam bahasa Indonesia, Khalid
Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan dari Fiqih Otoriter
ke Fiqih Otoritatif, terjemahan oleh R. Cecep Lukman Yasin
(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004)
[12] Webmaster@law.ucla.edu atau lebih jelasnya tentang
siapa Khalid sebenarnya bisa lewat e mailnya yaitu: abouel@law.ucla.edu
[13] Hasan Basri Marwah [Peneliti pada Lembaga Studi
Islam Progresif (LSIP) dan P3M Jakarta], di http://www.islamemansipatoris.com
[14] Syahiran Syasuddin, ibid,
hal. 45-52
[15] Ilmu sejarah memberikan nuansa
yang menyegarkan bagi kehidupan yang telah (madli), sekarang (hal),
dan akan datang (istiqbal). Sekiranya menjadi benar tentang apa yang
diutarakan oleh Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya tentang sejarah merupakan
disiplin ilmu yang menjadi keluhuran bermadzhab, sumber buah manis
faidah-faidah, kemurnian tujuan. Karena dengan pengalaman sejarah kita akan
bisa berinstropeksi diri dengan membaca ahwal para umat terdahulu, baik
menyangkut para nabi sampai para penguasa dalam konteks kepemimpinannya. Dengan
begitu bagi pihak yang mampu menyerap sari pati dari sejarah tersebut tentunya
dia akan mendapat faidah-faidah baik untuk agama maupun dunia. Ibnu Khaldun, Muqaddimah
Ibnu Khaldun, (Daru al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, 2006), hal: 8
[16] Khalid, Ibid, hal: 96
[17] Khalid sengaja memilih wacana
ini, meskipun dia mengakui bahwa kurang berkompeten dalam wacana feminisme,
seperti pengakuannya: I have chose these respone in particular because, more
than any others, they demonstrate the misuse and abuse of god’s authority in
order to impose a suffocating patriarchy upon muslim society. Furthermore, I
think that gender related issues present some of the most difficult and
complicated challenges to contemporary Islamic law, and it is imperative that
muslim legal specialists start to develop coherent and critical ways of dealing
with these issues. However, this book does not belong to genre of gender
studies of feminist jurisprudence. I do not have competence to engage these
discourses. In addition, my primary aim in this work is to develop a conceptual
frame work for analizing Islamic legal determination according to their own
frame of reference. In the Islamic context, gender studies and feminist
yurisprudence raise controversies that I am not eager to engage. I leave this
to more resolute hearts. (saya memilih reaksi ini secara khusus(mengesampingkan
yang lain) karena, mereka menampakkan penyalahgunaan otoritas tuhan untuk
memaksa kedikdayaan partiarki pada masyarakat muslim. Selanjtunya, saya
berfikir bahwa keterkaitan isu-isu gender pada era sekarang menjadi sangat
rumit dan tantangan yang berat bagi hukum islam kontemporer, dan hal ini
mengharuskan para spesialis pemikir muslimmemulai untuk mengembangkan
keterkaitan (coherent) dan cara-cara pengkritikan (critical ways) yang
berhadapan langsung dengan isu-isu tersebut. namun buku ini tidak panjang lebar
mengupas aliran feminism dari studi gender atau yurisprudensi feminism. Saya
tidak berkompeten untuk ikut campur pada diskursus tersebut. sebagai tambahan,
tujuan utama pada kesempatan kali ini adalah untuk mengembalikan sebuah kerangka
konseptual untuk menganalisa penentuan hukum islam yang sesuai dengan kerangka
dari referensi yang mereka punyai. Dalam konteks keislaman, studi gender dan
yurisprudensi feminisme memunculakan kontroversi-kontroversi yang saya tidak
berhasrat untuk terlibat. Saya meninggalkannya dengan kerelaan hati ). Khalid,
ibid, hal. xi
[18] Harun Nasution memberikan
penjelasan tentang alasan yang menguatkan tentang perlunya pintu ijtihad
tertutu yaitu ulama-ulama caliber besar yang sederajat dengan Abu Hanifah, Malik,
Syafi’i dan Ibnu Hambal sudah tidak terdapat lagi dan ijtihad yang dijalankan
oleh ulama-ulama yang belum mencapai derajat mujtahid membawa kekacauan dalam
bidang hukum dan dalam masyarakat. Diberitakan bahwa kasus yang sama di kota
yang sama memperoleh penyelesaian hukum yang bertentangan. Dalam suasana yang
demikian para ulama melihat perlunya pintu ijtihad ditutup dan pengadilan
perkara tidak boleh lagi didasarkan kecuali atas pendapat ulama-ulama besar
sebelumnya. Orang tidak boleh lagi pergi langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah
untuk menentukan hukum atau untuk member fatwa. Di sini timbullah paham dan
sikap taqlid, yaitu mengikuti pendapat ulama-ulama sebelumnya. Hal yang
demikian membawa keadaan statis dalam bidang hukum Islam, yang pengaruhnya masih
terasa sampai sekarang. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2002), hal: 15
[19] Khalid Abou El Fadl, Speaking
in God’s Name, (England: Oneworld Oxford, 2003), hal:
55-56
[20] Meminjam istilah yang digunakan oleh Amin Abdullah
pada pengantar buku yang berjudul “Atas Nama Tuhan.”
[21] Hal ini Khalid pertegas dalam
konklusinya dengan meyatakan “deffering to God and honoring the texs
(intruction), requires a human being to exercise self-restraint in speaking for
God and the text. But discharging the obligations of human agency mandates that
the reader (agent) take his or her role very seriously by aggressively and
vigorously invertigating both God and God’s instructions. “God knows best” is
not invitation to intellectual complacency and smugness, but, as the Qur’an
state, to realize that “over every knowledgeable person is one more
knowlwdgeable.” Khalid, ibid, hal: 165
[22] Imam An-Nawawi, Riyadlu al-Shalihin,
(al-Maktabah al-Syamilah, tt), Juz: 1 hal: 292
[23] They would often write of the
conclution of their legal discussions the phrase, “and God knows best”(wa
allahu a’lamu). Symbolically, this meant that while the jurist was
submitting his or her efforts for consideration, ultimately, only god knowa
what right and wrong. (para ulama sering kali menulis pada kesimpulan hasil
kajiannya dengan kalimat (wa allahu a’lamu), dan Allah lebih mengetahui. Secara
simbolitas, hal ini mengartikan bahwa para ahli hukum menyantumkan pada hasil
usahanya pada pertimbangan, bahwa hanya Tuhan yang mengetahui mana yang benar
dan salah). Khalid, Ibid, hal. 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar