assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat datang di kajian kitab kuning pesantren

Senin, 10 Desember 2012

MENUJU PENCERAHAN EPISTEMOLOGY FIQIH (STUDI HERMENEUTIKA KHALID ABOU EL FADL) Oleh: khoirul hadi



Abstrak
Fiqih merupakan salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Berbeda sifat dengan ketauhidan (i’tiqadiyyah) dan ahlak (khuluqiyyah)yang qath’i, dia hadir secara dhanny. Tujuannya untuk lebih mengena terhadap permasalahan yang selalu berkembang dan rumit. Meskipun demikian, menjadi sangat berkesan kepada kita sebagai wakil Tuhan untuk selalu dan selalu menggali khasanahnya. Dan hal ini terbuka untuk berbagai kalangan, dengan catatan adanya verifikasi, terbuka dengan pihak yang lain, dan tidak memaksakan kehendak. Maka dengan begitu jadilah fiqih itu bukan merupan aturan-aturan yang memaksa (ahkam) akan tetapi lebih bermartabat yaitu dengan pemahaman-pemahaman (fahmu).
Keywords: Fiqih, Teks, Reader, Author, Otoriter, Otoritative
A.  PENDAHULUAN
Kita tidak bisa menyangkal bahwa kemajuan teknologi, kekhasan budaya, sosiologi, dan semua hal yang berhubungan dengan sendi-sendi kehidupan akan melekat dan mengekor kepada Fiqih. Hal-hal itu memang sudah sewajarnya dan semua mengakui atas pengaruh timbal-baliknya. Akan tetapi menjadi bermasalah ketika terjadi penggugatan dalam ruh Fiqih secara keilmuan. Fiqih merupakan kajian keilmuan yang wajib dikembalikan pada cakupan asli yaitu kepada epistemology keilmuan. Pernyataan tersebut disatu sisi sangat mendapat dukungan yang penuh, akan tetapi pada sisi yang lain hal ini sangat ditentang dengan bebagai sanggahan, jalan tempuh, bahkan ketidak ilmiahan.
Salah satu yang menjadi perdebatan dikalangan para pemikir Islam –hubungannya dengan Fiqih-- adalah studi yang masih tergolong baru yaitu hermeneutika.[1] Sebenarnya sebagai jiwa keilmuan diwajibkan untuk membuka diri dengan berbagai tawaran ilmu pengetahuan, berusaha menghindari diri dari jiwa arogansi, apologetic, dan fanatic. Akan tetapi fakta berbicara lain, timbul perdebatan yang menarik tentang pemposisian kajian hermeneutika,ada yang membabat habis kajian ini, ada yang hangat menanggapinya, dan ada yang menerimanya dengan syarat.
Salah satu tokoh yang membabat habis hermeneutika adalah Muhammad ‘Imarah. Dia menulis buku yang berupa sanggahan terhadap hermeneutika yang berjudul “Hadza Huwa al-Islam: Qira’at al-Nashsh al-Dini Bayna al-Ta’wil al-Gharbi wa Ta’wil al-Islami”[2] yang mana dia di dalamnya mengupas bahwa kajian hermeneutika yang diadopsi dari barat tidak cocok untuk diterapkan dalam al-Qur’an. Dia menuduh bahwa barat dalam hermeneutikanya berusaha memberitahukan tentang kematian pengarang (mu’allif) dan pembicara (mutakallim) –bisa disebut juga author—upaya melupakan maksud pengarang, menembatkan pemahaman subyektif pembaca (reader) pada posisi yang dimaksud oleh pengarang (author), memandang teks sebagai sesuatu yang historis dan relative, menempatkan posisi pembaca (reader) sebagai pengarang (author). Argumentasi inilah yang dilancarkan ‘Imarah untuk menyerang hermeneutika, bahkan dengan sesama tokoh Islam pun dia menentang habis-habisan seperti Muhammad arkoun, hasan hanafi, nasr hamid abu zaid. Ketika orang sudah menggunakan hermeneutika dia sudah “memanusiakan tuhan (ansanat al-ilah), menuhankan manusia (ta’lih al-insan), menafikan wahyu, dan menafikan makna obyektif. Bahkan ‘imarah bisa penulis artikan telah menuduh insider sebagai outsider.[3]
Di Indonesia sendiri tidak terlepas dari pengaruh yang dicetuskan oleh ‘Imarah, salah satunya INSIST yang dipromotori oleh Adian Husaini, kemudian pengaruhnya juga menjalar ke semua elemen masyarakat yang mayoritas Islam bermadzhab. Setidaknya penentangan kajian hermeneutika di Indonesia dipengaruhi oleh dua alasan yaitu asumsi bahwa hermeneutika dapat mendangkalkan akidah dan hermeneutika adalah metode yang diterapkan oleh para ilmuan barat untuk mengkaji bible. Dua alasan inilah yang cukup ampuh mempengaruhi penolakan terhadap hermeneutika, masyarakat menjadi arogan terhadap konsep yang dibawa hermeneutika. Sikap arogansinya karena akibat yang ditawarkan berupa hal yang dapat mengganggu fundamentalitas keimanan mereka serta membawa wacana yang dipertegas bersumber dari barat menjadikan masyarakat semakin arogan, ajaib sekali jikalau mau mempelajari hermeneutika, mendengarkan namanya saja mereka sudah bermuka masam. Ini tidak lain karena masyarakat kita masih berjiwa apologetic.
Meskipun begitu ada sebagian kelompok yang belajar kritis dalam menanggapi wacana hermeneutika salah satunya yaitu Sahiran Syamsuddin.[4] Dia tidak menolak total hermeneutika akan tetapi ada konsep-konsep hermeneutika yang menurut dia bersumber dari outsider yang berjiwa obyektif. Dia menyontohkan seperti Hans-Georg Gadamer[5], Jorge Garcia[6], dan Friedrich Schleiermacher[7], menurut dia ketiga tokoh tersebut berbeda sekali dengan apa yang dituduhkan oleh Muhammad ‘Imarah, dan Adian Husaini lebih-lebih masyarakat Indonesia.[8]
Studi tentang hermeneutika yang jelas merupakan sesuatu hal yang baru dan menimbulkan beragam persepsi. Hermeneutika bukan hal yang tidak harus dipelajari atau dilarang. Dia hadir dalam ruang dan dimensi yang untuk sekarang sangat dibutuhkan. Salah satu bukti adalah apa yang telah dilakukan oleh Khalid abou el fadl. Dia menyadari sebagai insider sangat butuh dengan peran serta outsider.[9] Dengan “alat peraba” yang berupa hermeneutika, Khalid berusaha untuk menata kembali wacana fiqh yang masih beraroma politik dan otoriter. Oleh karena itulah menjadi kajian yang sangat menarik sekali khususnya pada era sekarang, dimana di berbagai belahan bumi fiqihnya masih dibumbui “heritage”. Khalid berusaha meninjau kembali hubungan antara texs, author, and reader hubungannya dengan fiqih. Dia sangat gelisah ketika mendapati fiqih bukan sebagai kajian epistemology, melainkan sebagai alat perpolitikan bahkan keotoriteran.[10] Inilah sekiranya pada kajian kali ini pemakalah berusaha meninjau langsung kajian hermeneutika yang ditawarkan oleh Khalid Abou El Fadl terkait dengan usaha menghidupkan kembali fiqih sebagai kajian epistemology dan metode penelitian.[11]
B.  Sekilas Biografi Khalid Abou El Fadl
Khaled lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik yang sederhana. Orang tuanya adalah muslim taat yang sangat terbuka dalam bidang pemikiran. Diakuinya dengan jujur, bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang memang subur di lingkungannya. Hari-harinya dipenuhi dengan utopia tentang sebuah ‘kelompok terbaik’ dan ‘kelompok yang mewakili Tuhan’ di atas bumi. Selain itu, setiap kali bertemu dengan orang, dia menyampaikan ajaran puritanisme yang dianggapnya paling benar. Tak terasa sebagian masa remajanya habis tersedot oleh mimpi puritanisme yang membuatnya benci, tertutup, dan marah-marah pada orang lain di luar kelompoknya. Untunglah Khaled memiliki orang tua yang shaleh dan terpelajar. Mereka menawarkan berbagai khazanah keilmuwan Islam dari berbagai aliran kepada Khaled. Maklum saat itu wahabisme yang menjadi mazhab negara telah menyortir semua bacaan yang harus dibaca oleh masyarakat. Penguasa yang memiliki kepentingan dengan ideologi wahabisme menetapkan mana bacaan yang sehat dan tidak sehat untuk masyarakat.
Dengan bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Khaled mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam.
Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhrinya dia menetap di Mesir. Di negeri Piramid tersebut ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya.
Namun bayang-bayang puritanisme tidak pernah redup dalam dirinya. Ketika menempuh pendidikan lanjutan di Yale University, Amerika Serikat untuk meraih B.A (Bachelor of Art) kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus menjadi beban yang tak terhapuskan. Namun tugas-tugas belajar menyedot energinya. Selepas dari Yale tahun 1986 Khaled melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1999 dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies yang pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Akhirnya di UCLA pula ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Selama menempuh kuliah, Khaled sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona. Pernah juga menjadi praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi.[12]
Saat ini selain menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Khaled mengajar di Princeton, University of Texas, dan Yale university. Terlibat juga sebagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of Human Rights Watch dan Comission on International Relegious Freedom di Amerika Serikat.
Di kenal oleh banyak teman dekatnya sebagai penggemar berat musik, terutama musik Arab. Dia penggemar berat legenda Diva Arab (Sayyidah al-Ginaa ) Ummi Kultsum. Sambil mendengarkan musik, hari-harinya diisi dengan membaca koleksi buku-bukunya yang mencapai kurang lebih 40.000 koleksi di perpustakaan pribadinya.
Sebagai pakar dan aktivis hukum, Khaled dikenal sebagai penulis yang prolifik—produktif, antara lain :
a      Islam and the Chelllengge of Democracy (Princeton University Press, 2004)
b      The Place of Tolerance in Islam (Cambridge University, 2001)
c      Rebellion dan Violence in Fiqih ( Cambridge University, 2001)
d     Speaking in Gods Name: Fiqih, Authority, dan Woman ( Oneworld Publication, 2001)
e      And God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (2001)
f       Conference of The Books: The Search for the Beauty in Islam (2001)
g      The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourse (2001)
Selain menulis buku, Khaled memiliki paper kuliah yang berjumlah ratusan dan artikel di media massa yang tak terhitung. Produktivitas menulisnya sangat jelas didukung oleh penguasaan yang luas atas khazanah klasik Islam dan keilmuwan kontemporer. Siapapun membaca karya-karya Khaled akan menemukan dan merasakan adanya komunikasi atau dialog antara khazanah klasik Islam dengan khazanah pengetahuan kontemporer tanpa perbenturan dan konflik seperti yang sering dikhayalkan banyak orang.[13]
C.   Texs, Author, and Reader (Pengkajian Ulang Dalam Fiqih Otoriter)
Hans-Georg Gadamer[14] dalam konsep hermeneutikanya memberikan arahan tentang metode-metode yang digunakan dalam bernalar hermeneutika. Pertama, affective history (sejarah yang mempengaruhi seseorang), pola fikir dan tindakan seseorang pasti dipengarui oleh pengalaman sejarahnya. Bisa jadi karakter yang ditampilakn berkat pertimbangan-pertimbangan yang diproses melalui hasil interaksinya dengan berbagai kasus yang pernah dia alami. Kita tahu bahwa tiada ilmu yang paling berharga kecuali pengalaman. Saya, anda, dan semua manusia hidup dalam ruang dan waktu yang selalu berubah, dan itu mengakibtakan pengalaman kesejarahan yang berbeda pula. Tidak jarang dan pasti itu sunatullah bahwa corak pandang dan persepsi orang berbeda-beda dalam menghadapi suatu permasalahan, permasalahan yang dihadapi sama akan tetapi solusi yang muncul beragam. Oleh karena itulah affective history[15] tidak boleh dilupakan –lemah dan harus mengakar kepada jiwa manusia sebagai ciri khas tingkah laku, cara kerja, dan pola berikir.
Kedua, preundestanding (prapemahaman), hal ini hubungannya sangat erat dengan affective history. Dalam berbagai hal pemahaman seseorang dibentuk dengan pemahaman-pemahaman sebelumnya. Antara satu orang dengan orang yang lain jelas tidak sama. Suatu teks bisa diartikan dengan berbagai pemahaman sesuai dengan prapemahaman orang yang bersangkutan, benar-salah dan kuat-lemahnya argumentasi yang ditawarkan bagaimana prapemahamannya. Dengan begitu kebenaran itu harus terbuka, bisa jadi kebenaran berasal dari orang lain atau kebenaran muncul karena terjadi diskusi antara subyektifitas yang kemudian membentuk obyektifitas kebenaran.
Ketiga, penggabungan atau asimilasi horizon dan line circle of hermeneutika (garis lingkar hemeneutik). Kaitannya dengan hal ini ada yang dinamakan cakrawala pengetahuan atau horizon dalam teks dan cakrawala pemahaman atau horizon dalam jiwa reader. Penggabungan atau asimilasi antara keduanya membentuk yang namanya line circle of hermeneutika. Pembaca boleh sesuka hatinya memahami suatu teks yang ada didepannya. Dia boleh berpendapat sesuai dengan hasil pemahamannya tersebut. akan tetapi yang menjadi catatan bahwa dia tidak boleh mengclam bahwa pendapatnya yang pasti dikarenakan itu hanya merupakan pemahaman kemungkinan yang kemudian disebut pemahaman “subyektifitas”. Teks mempunyai pengetahuan tersendiri dan ini berimbas pada keobyektifitasan pemahaman. Ketika terjadi pertentangan antara subyektifitas dan obyektifitas maka yang dimenangkan adalah pengetahuan yang ada dalam teks itu sendiri. Reader dituntun hanya untuk menggali pemahaman dan tidak boleh berotoritatif terhadap pemahamannya, dalam artian harus pemahaman yang otoritative.
Keempat, penerapan atau aplikasi, kitab suci sebagai teks sudah final dalam artian sudah tidak ada penambahan lagi. Teks yang sudah final tersebut dihadapkan kepada para reader atau penafsirnya dengan berbeda masa antara mereka. Untuk menghidupkan kembali teks, harus dibangun pemahaman bahwa teks itu sebenarnya bukan obyek kajian yang final. Ada hal lain yang mendorong pergerakan teks bisa diterima disemua masa yaitu para penafsir untuk mampu menggali makna yang terdalam dari teks tersebut.
Pergulatan antara teks, author, dan reader memang merupakan keniscayaan. Keniscayaan tersebut membuat Khalid memberanikan diri untuk mengkaji ulang posisi fiqih yang pada era sekarang tidak pada porsi epistemology. Fiqih sebagai disiplin ilmu keIslaman tidak terlepas dari teks keagamaan yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Itulah sebabnya sejak awal para ulama mematok bahwa studi fiqih murni merupakan studi keilmuan. Peran ulama (reader) pada waktu itu dalam pemosisiannya sangat berhati-hati dalam memosisikan diri dalam lingkup pemahaman teks keagamaan (al-Qur’an dan al-Sunnah) yang merupakan hudan dari Allah (author).
Fiqih sebagai hasil pemahaman antara pergulatan reader, teks, dan author menjadi bermasalah ketika dalam diri reader timbul keberwenangan yang disebut despotism. Reader memang diberi wewenang untuk menggali teks dengan besungguh-sungguh. Akan tetapi pada saat reader merasa bahwa hasil pemahamannya benar, sehingga dia memposisikan terhadap apa yang telah dia cetuskan merupakan kehendak author itulah despotism. Hal inilah yang menjadikan era fiqih sekarang menjadi era fiqih yang otoriter. Hal ini merupakan hal yang terlupakan (forgotten) dikalangan umat Islam. Kajian fiqih pada era sekarang khususnya tinjauan lembaga fatwa dan para ahli hukum Islam terjebak dalam kubangan yang mendistorsi khasananh keilmuan fiqih. Otoritas mujtahid menjadi mengejala disetiap hasil fatwanya, keberwenangan sumber dan wakil-wakil dari penyampai sumber tersebut, kemudian yang lebih parah lagi despotisme intelektual (istibdad bi al-ra’yi).[16] Jangan heran ketika muncul fatwa yang sangat berat sebelah, seperti wanita lebih baik sholat di dalam rumah, wanita merupakan second pathner bagi laki-laki, wanita dalam pemosisiannya dengan laki-laki sangat ketergantungan “suargo manut, neroko katut”, sikap patriarki menggejala disemua lini kehidupan.[17] Kesemua hal itu menjadikan fiqih berubah menjadi budaya hukum yang dipengaruhi unsur politik kemudian fiqih yang diidam-idamkan oleh para ulama dahulu sebagai khasanah perbedaan yang “mengasyikkan” berubah menjadi budaya hukum yang didekte (pemaksaan). Seolah-olah lembaga fatwa dan para ahli hukum menjustifikasi pendapatnya sebagai kehendak Allah. Menjadilah hukum Islam sebagai seperangkat aturan (ahkam) bukan sebagai pemahaman (fiqih).

D.   Berotoritas Hanya Secara Konseptual
Otoritas sebenarnya masih mendapatkan posisi dalam wacana hukum Islam. Kurang lebih otoritas yang ditawarkan harus beracuan rasional normative, maksudnya hukum yang ditawarkan haruslah yang menjujung nilai kerasionalitasan bukan merupakan sesuatu yang akal fikiran manusia tidak bisa menganalogikakan. Kemudian otoritas itu juga bisa subur pada saat berkeadilan bukan merupakan fatwa yang berat sebelah apalagi menguatkan dominasi patriarki. Kesejahteraanlah yang kemudian menjadikan otoritas penuh dukungan untuk dipertahankan.
Otoritas dalam acuan hermeneutika mengacu bahwa peran reader hanya menyampaikan apa telah dia fahami dari teks tersebut. Kita tidak bisa menolak bahwa adanya teks itu bisa bersuara harus ada yang menyuarakan yaitu manusia sebagai reader. Kode etiknya adalah manusia dalam hal ini memang mempunyai wewenang dalam menentukan pemahamannya tapi, harus dibingkai dengan keberwenangan yang derivative dan otoritatif.
E.   Problematika Teks Antara Kebekuan Dan Kecairannya
Usaha untuk menanggulangi kebekuan teks melibatkan bagaimana interaksi antara reader, teks, dan author. Seorang mujtahid sudah barang tentu menggali makna teks agar sampai kepada kehendak Allah. Makna tersebut menjadi kebenaran yang murni manakala dalam berijtihadnya harus dengan ketulusan hati tanpa ada motifasi apapun. Semua mujtahid sebenarnya berpotensi untuk sampai kepada apa yang dimaksudkan oleh author akan tetapi ada mujtahid yang dalam berijtihad termotifasi oleh nafsu yang hasil dari pada ijtihadnya menjadi antitesi kebijakan dan ini yang menjadikan teks mengalami kebekuan. Di satu sisi ada mujtahid yang dalam berijtihad termotifasi dengan “petunjuk” sehingga hasil ijtihadnya mampu untuk diprediksi, berkonsistensi dan mempunyai rujukan yang otoritatif. Dengan model yang kedua inilah kebekuan teks akan menjadi tercairkan.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah meniadakan kefinalitasan (kesewenang-wenangan). Hal inilah secara fakta menjadikan reader berpisisi tidak sebagai reader, dia akan bersikap sewenang-wenang dengan fatwa atau hasil ijtihadnya yang kemudian menjalar kepada pemaksaan pemahaman. Kebekuan teks tercermin dengan timbulnya faham tertutupnya pintu ijtihad yang kemudian berlanjut dengan timbulnya despotic, lebih-lebih timbulnya penasiran tunggal yang kemudian melanggar intergritas author dan teks.
Nabi Muhammad menyatakan bahwa semua mujtahid benar, dalam berijtihad mendapatkan pahala satu porsi untuk usahanya satu lagi untuk kebenarannya, jika salah dia tetap dihargai karena jerih payahnya dengan mendapatkan satu pahala. Memang sangat perlu diperinci tentang mujtahid itu sendiri, Khalid membahasankan bahwa manusia sebagai wakil Tuhan berimbas pada semua manusia berpotensi untuk bersungguh-sungguh dalam menentukan perilakunya. Dia mengistilahkan akan wakil khusus dan wakil umum. Baik wakil khusus terbagi lagi menjadi dua yaitu muqallid dan mujtahid, keduanya sah disebut sebagai ahli hukum. Sebagai muqallid dituntut berhukum berdasarkan kenormatifan dan doktrin yang diyakini. Ini mengartikan bahwa dalam bertaqlid, muqallid tidak terjebak dengan taklid buta. Doktrin yang dia yakini kebenarannya hanya sebagai jembatan untuk menghubungkannya dengan dalil yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Amalan-amalan dan ketetapan hukum harus diyakini kebenarannya dengan menyantumkan kenormatifannya.
Selanjutnya sebagai wakil khusus yaitu mujtahid yang kemudian dibingkai atas nama madzhab berusaha dan bersungguh-sungguh untuk mencari jawaban yang benar dari permasalahan yang ada. Harus diakui bahwa hal tersebut tidak mudah bahka sulit untuk secara mutlak menemukan kebenaran, apalagi disangkutkan dengan persoalan agama. Mujtahid dalam konteks seperti ini yang bisa dilakukan yaitu melakukan hal terbaik, berusaha menemukan ketentuan yang tepat dan sekuat tenaga untuk melakukan daya dan upaya. Dengan hal-hal itu usaha untuk mencapai maksud yang diinginkan akan ternilai. Mujtahid kaitannya dengan hukum Tuhan dalam pelaksanaanya harus berusaha bertanggung jawab, penuh pertimbangan, dan bersunguh-sungguh dalam hal penggalian, penyimpulan, dan penerapannya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ketika pintu ijtihad dibuka kemudian fiqih dikembalikan kepada kajian epistemology akan berdampak kepada pluralism madzhab yang tidak terkendali.[18] Sehingga ahli hukum yang mana dan yang bagaimana untuk selanjutnya terpakai ? ahli hukum yang banyak diminati oleh masyarakat, namanya menggema diseluruh penjuru, kajian-kajian ilmiahnya selalu dibanjiri oleh masyarakat, pengajaran dan karya-karyanya diminati oleh mayoritas masyarakat adalah ahli hukum yang sebenarnya. Adapun ketika dia sudah wafat maka makamnya selalu diziarahi oleh banyak orang. Semua itu bisa terwujud lantaran dalam menggali hukum dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Sebagai contohnya system tarjih yang dilakukan oleh para mujtahid bukan merupakan hal yang akal-akalan belaka, hadits diteliti dari segi keautentikannya guna menjadi pijakan untuk dijadikan ketentuan hukum, banyak ketentuan yang berlaku untuk mengautentikan hadits dan ini menjadikan kridibilitas ijtihadnya tergolong bersungguh-sungguh.
Wakil yang kedua adalah yang bersifat umum menyangkut masyarakat luas atau orang-orang awwam. Kalangan ini juga dituntun untuk bersungguh-sungguh bukan dalam kajian sebagaimana wakil khusus tetapi berusaha untuk menyelidiki dengan kritis terhadap hukum-hukum yang telah digali oleh wakil khusus. Dia boleh saja menerima pandangan yang ditawarkan bisa juga menolaknya. Ini semua sebagai usaha untuk mengurangi pengaruh despotism.
Untuk menyairkan teks dari kebekuannya karena pengaruh despotism bisa dicegah harus adanya gerakan baik dari kalangan wakil khusus dan wakil umum. Gerakan-gerakan tersebut sebagian sudah dijelaskan akan tetapi untuk lebih jelasnya sebagai berikut, yaitu  kejujuran (honesty), kesungguhan (diligence), pengendalian diri (self restraint), pengetahuan (comprehensive), dan keshalehan/kebijaksanaan (reasonableness).[19]
F.       Menatap Masa Depan Fiqih (Dari Otoriter ke Otoritatif)
Khalid dalam kajiannya telah menyebutkan bahwa lembaga-lembaga yang menaungi masalah fatwa seperti CRLO (council for scientific research and legal opinion, (al-lajnah al-da’imah li al-buhuts al-‘ilmiyyah wa al-ifta’) lembaga pengkajian ilmiah dan fatwa) telah melakukan tindakan yang dengan berlandaskan nash mengklaim bahwa itulah yang sebenarnya “dikehendaki oleh Tuhan”. Hal inilah yang kemudian menyebabkan nash kehilangan peran serta secara mutlak, terbukti ketika membaca fatwa yang ada keterkaitannya dengan wanita, semuanya mengacu kepada ketidak adanya demokrasi dalam realitas kehidupan. Teks tak ubahnya dipandang sebagai alat penggehemoni, reader dengan keperkasaan dan kewenangaannya menutup peluang terbukanya teks, apalagi dengan mengatasnamakan tuhan, sikap yang tercermin merambah pada keotoriteran fatwa yang dicetuskan. Hadits-hadits yang berbau misogenis seperti perempuan lebih baik sholat dirumah, perempuan ketika menolak ajakan suami pada malam hari akan mendapat laknat sampai pagi hari, kepatuhan perempuan terhadap suami akan menjadi bekal dia masuk surga, dan masih banyak lagi hadits-hadits yang digunakan untuk mengokohkan kepatriarkian dengan system koersif. Untuk itulah ke depan Khalid menghendaki bahwa kajian hadits tidak hanya mempertimbangkan shahih dan tidaknya akan tetapi lebih pada kandungan hadits yang lebih bermartabat. Selain itu  kajian fiqih harus dikembalikan kepada apa yang telah dicontohkan oleh para ulama yaitu sebagai murni kajian keilmiahan. Apa yang dicontohkan para ulama patut dicontoh sepeti tidak jarang dalam hal berpendapat mereka tidak ragu-ragu untuk menyantumkan pendapat-pendapat ulama yang lain (dalam redaksinya qala wa qila). Hal ini menggambarkan bahwa sikap para ulama benar-benar memurnikan kajian fiqih. Sesama ulama tidak jarang bahkan sering mendiskusikan rumusan-rumusan fiqih dalam kaidah-kaidah masing-masing untuk mencari titik temu secara obyektif yang kemudian para wakil umum dihadapkan untuk memilih pendapat yang mereka lebih mengena. Dengan begitu nuansa demokratis dalam berhukum sangat dijunjung tinggi.
Kenyataan di atas menjadi fondasi epistemology fiqih agar mudah untuk ditata kembali. Penataan itu harus didukkung dengan adanya pilar-pilar yang bisa menjadikan acuan sepanjang masa. Setidaknya hal itu tercermin baik secara normativitas maupun secara historisitas.[20] Secara normative al-Qur’an dengan tegas menyatakannya yaitu tercermin dalam surat yusuf ayat 76 (wa fauqa kulli dzi ilmin ‘alimun)[21] “di atas orang yang berilmu pasti ada yang lebih berilmu lagi”, atau dalam pribahasa Indonesia “di atas langit masih ada langit”. Dalam hadits juga dipertegas dalam kaitan duniapun nabi menghendaki supaya kita jangan berbangga hati (undluru ila man huwa asfala minkum, wala tandluru ila man huwa fauqakum, fahuwa ajdaru anlatajdaru ni’matallahi ‘alaikum)[22], “perhatikanlah orang yang ada di bawahmu, jangan engkau melihat orang yang ada di atasmu, karena hal itu akan menyadarkan supaya tidak mengindahkan nikmat yang telah Allah berikan kepadamu”. Sehingga jika kita memaknai secara bebas bahwasannya tidak ada yang berkuasa didunia ini, asumsinya ketika ada orang yang sudah dipandang pakar dibidangnya pasti ada orang lain yang lebih pakar lagi, begitu seterusnya. Ini mengartikan bahwa semuanya harus mengacu pada kerendahan hati menerima kritik dan sanggahan. Kita tidak bisa menjustifikasi tentang pendapat kita, karena boleh jadi pendapat-pendapat tersebut terasa “aneh” di hadapan orang lain yang lebih mengetahui. Dipertegas lagi oleh hadits nabi bahwa kita harus memposisikan diri kaitannya dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang selalu dan selalu melihat orang lain yang belum tentu mendapatkan nikmat serupa, akan tetapi untuk kajian keilmuan kita harus memandang orang-orang yang berada di atas kita. Ini semua tujuannya hanya satu yaitu menghilangkan sifat “keakuan” yang terdapat dalam diri kita. Inilah sekiranya akan menjadikan fiqih akan selalu bisa dikontekstualisasikan, karena setiap tempat dan waktu selalu dikoreksikan, memperbaiki pemahaman, dan menghidupkan kembali semangat keilmuan manurut al-Qur’an dan al-Hadits.
Pilar yang selanjutnya adalah historisitas yang ditampilakn oleh kebiasaan para ulama-ulama dalam karya-karya tulisannya. Sepanjang sejarang telah dijumpai berapa kali kata terucap dari para ulama menyangkut huwa allahu a’lamu bi al-shawab “dialah Allah yang paling mengetahui yang terbenar”[23]. Dari kalimat tersebut ditegaskan bahwa kata a’lamu merupakan isim tafdil yang menunjukkan arti paling/lebih, ini untuk mengantarkan pembaca bahwa sepintar-pintarpun seseorang tidak akan bisa menandingi pengetahuanNya. Seseorang hanya dituntut untuk berusaha mencari kebenaran, akan tetapi usaha tersebut belum tentu membuahkan kebenaran yang dimaksudkan. Penilaian kebenaran tersebut dengan seberapan payahnya orang berusaha, tidak pada inti yang ditemukan. Walapun dia sudah menyakini penemuannya akan tetapi harus berusaha semaksimal mungkin menghindari diri dari sikap kesewenangan, boleh jadi bukan kebenaran itu yang diinginkan oleh Allah.
Dua pilar itulah yang digunakan oleh para pengkaji hukum Islam pada era klasik dulu yang terbukti fiqih benar-benar pada wujud aslinya yaitu benuansa epistemology. Pada era sekarang kebiasaan klasik tersebut harus dipertahankan karena terbukti kemanjurannya, akan tetapi perlu ditambahi adanya “rasa keadilan, kemanusiaan yang beradab, dan kepastian hukum”. Dengan beritu fatwa-fatwa yang telah disimpulakan tidak berupa kertas-kertas yang hanya untuk memenuhi perpustakaan melainkan bisa terpraktekkan secara konkrit dalam realita kehidupan, tidak hanya sebagai wacana keagamaan, atau tidak hanya sebagai suatu proses pemenuhan rutinaitas yang tidak ada tindak lanjutnya. Yang tentunya hal tersebut perlu adanya kerja sama dari semua pihak, baik keberwenangan pemerintah kaitannya dengan lembanga-lembaga fatwa, kejujuran, kemurnian, kesungguh-sungguhan dari para ahli hukum, dan kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Itu semua juga harus diback-up dengan melibatkan hukum Islam dengan kemunitas masyarakat atau sekelompok masyarakat penafsir dari berbagai latar belakang keahlian dan keilmuan. Dengan maksud nantinya fiqih tidak lagi terjebak dalam kubangan authoritarianism. Kita harus sadar bahwa ke depan tantangan semakin nyata yang rumit, butuh perhatian yang serius terhadap kajian hukum Islam. Sebagai salah satu usahanya yaitu Khalid mengembalikan ilmu yurisprudensi Islam sebagai sebuah epistemology dan sekaligus sebagai metode penelitian (a methodology of inquiry). Dengan begitu penjagaan konsep yang digagas oleh para pendahulu berupa peranan ‘aql (intelect), fithrah (intuition), atau husn dan qubh (moral dan immoral) bisa dikembangkan lebih lanjut pada era yang akan datang.
G.   PENUTUP
Keterbukaan teks harus terus dipertahankan guna untuk mengimbangi dan menghidupkan kembali teks tersebut. Ketertutupan teks akan mengakibatkan buntunya penggalian makna terdalam yang diusung oleh teks itu sendiri. Kita sebagai wakil Tuhan yang diserahi tugas di dunia ini berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menggapai makna yang terdalam tersebut. Sifat keilmiahan harus juga kita terapkan kaitannya dengan hal ini. Sikap despotism harus dihilangkan karena hanya akan menghidupkan dan menggembangkan authoritarianism, tidak untuk memberikan nafas segar bagi masa depan yurisprudensi Islam. Hadlaratu al-nashsh telah memberikan bukti baik dari normatifitas maupun historisitas tentang peniadaan authoritarianism tersebut. semangat membuka diri dengan prinsip kejujuran, kebijaksanaan, kesungguhan, pengendalian diri, dan pengetahuan yang luas akan menjadi kunci pokok terciptanya rasa keadilan dan kepastian hukum yang menzaman.

 




                                                  












Menafikan critical of reader (wakil umum)
 

Oval: author


 
                                                                                                                          





1.    Penafsir (actor/wakil khusus)
2.    CRLO
3.    Despotism (authoritarian)
 



 




Skema 1 : Sikap yang harus dihindari









Oval: Hermeneutikaa 


Oval:
Oval: outsider







Memasukkan outsider dalam insider (laisa mina menjadi mina)
 

















Skema 2 : Sikap yang harus dikembangkan

“Wa fauqa kulli dzi ilmin ‘alimu, Wa Allahu a’lamu bi al-shawab”



Daftar Pustaka
Abdul Ra’uf, Muhammad, Outsiders’ Interpretations of Islam a Muslim’s Point of View, dalam Richard C. Martin, ed. Approaches to Islam in Religious Studies Tucson: The University of Arizona, 1985.
-------, Interpretasi Orang Luar Tentang Islam; Sudut Pandamg Orang Islam dalam Pendekatan Kajian Islam Dalam Studi Agama, terjemahan oleh Zakiyyudin Baidlawy judul asli Outsiders’ Interpretations of Islam a Muslim’s Point of View, dalam Richard C. Martin, ed. Approaches to Islam in Religious Studies, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002.
El Fadl, Khalid Abou, Speaking in God’s Name, England: Oneworld Oxford, 2003.
--------, Atas Nama Tuhan dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, Terjemahan oleh R. Cecep Lukman Yasin judul asli Speaking in God’s Name, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.
--------,Melawan Tentara Tuhan, Terjemahan oleh Kurniawan Abdullah judul asli And God Knows The Soldier: The Authoritative And Authoritarian in Islamic Discourse, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003.
An-Nawawi, Imam, Riyadlu al-Shalihin, al-Maktabah al-Syamilah, tt.
‘Imarah, Muhammad, Hadza Huwa al-Islam: Qira’at al-Nashsh al-Dini Bayna al-Ta’wil al-Gharbi wa Ta’wil al-Islami, Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dualiyyah, 2006.
Gadamer,Hans-Georg, Truth and Method, New York: The Seabury Press, 1975.
--------, Hermeneutics, Religion, and Ethics, New Haven and London: Yale University Press, 1999.
Garcia, Jorge,  A Theory of Textuality: The Logic and Epistemology, Albany: State University of New York Press, 1991.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Daru al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, 2006.
Marwah, Hasan Basri [Peneliti pada Lembaga Studi Islam Progresif (LSIP) dan P3M Jakarta], di http://www.islamemansipatoris.com
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2002.
Rahman, Fazlur, Approaches to Islam in Religious Studies, dalam Richard C. Martin, ed. Approaches to Islam in Religious Studies Tucson: The University of Arizona, 1985.
Schleiermacher, Friedrich, Hermeneutics and Criticism and Other Writing. Terj. Andrew Bowie, Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Syamsuddin, Syahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009.
--------, hermeneutika = dekonstruksi? Kritik oleh Muhammad ‘Imarah, (artikel yang disampaikan daam acara bedah buku hermeneutika dan pengembangan Ulumul Qur’an yang diselenggarakan oelh Yayasan Nawesea pada hari Selasa, 14 Desember 2010 di gedung Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).



[1] Hermeneutika diambil dari bahasa yunani, yakni hermeneuein, yang berarti “menjelaskan” (elkalren, to explain). Kata tersebut kemudian diserap dalam bahasa Jerman hermeneutic dan dalam bahasa Inggris hermeneutics, Hans-Georg Gadamer dalam artikelnya “Classical and Philosophical Hermeneutics” mengemukakan bahwa sebelum digunakan dalam disiplin keilmuan istilah tersebut merefer pada practice/tehne (sebuah aktifitas) penafsiran dan pemahaman. Syahiran Syasuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), hal. 5. Lebih lanjut dengan mengutip pemaparan Ben Vedder dalam bukunya Was ist Hermeneutic? Sahiran menjelaskan empat terma tentang keberagaman dan kebertingkatan definisi hermeneutika yang antara satu dengan yang lain saling terkait. Empat terma yang dimaksud adalah hermeneusie yaitu die inhaltliche arklaerung oder interpretation eines texse, kunstwerkes oder des velhaltens earner person  (penjelasan atau interpretasi sebuah teks, karya seni atau perilaku seseorang). Hermeneutic: jika seseorang kemudian berbicara tentang regulasi atau aturan, metode atau strategi/langkah penafsiran, maka dia sedang berbicara tentang hermenutika. Philosophische hermeneutic: hermeneutika filosofis tidak lagi membicarakan metode eksegetik tertentu sebagai obyek pembahasan inti, melainkan hal-hal   terkait dengan “conditions of the possibility” (kondisi-kondisi kemungkinan) yang dengannya seseorang dapat memahami dan menafsirkan sebuah teks, simbul, atau perilaku. Hermeneutische philosophie: adalah bagian dari pemikiran-pemikiran filasfat yang mencoba menjawab problem kehidupan manusia dengan cara menafsirkan apa yang diterima manusia dari sejarah dan tradisi. Dari keempat terma tersebut hermeneutika dapat diartika secara sempit dan luas, secara sempit adalah membahas metode- metode yang tepat untuk memahami dan menafsirkan hal-hal yang perlu ditafsirkan, seperti ungkapan-ungkapan atau simbul-simbul yang berbagai factor sulit dipahami. Dalam arti luas adalah cabang ilmu pengetahuan yang mebahas hakekat metode dan syarat serta persyaratan penafsiran. Lebih lanjut lihat  Syahiran Syamsuddin, Ibid, hal. 7-11. Noeng Muhajjir mengkategorikan hermeneutika ke dalam sub cabang ilmu pengetahuan logika bahasa, dia membagi logika menjadi 5 sub cabang yaitu platonic, sosial, intrinsic, semiotic, dan hermeneutic. Disampaikan pada mata kuliah Filsafat Ilmu: Topic-Topik Epistemology pada Prodi Hukum Islam Konsentrasi Hukum keluarga kelas B, Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Muhammad ‘Imarah, Hadza Huwa al-Islam: Qira’at al-Nashsh al-Dini Bayna al-Ta’wil al-Gharbi wa Ta’wil al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dualiyyah, 2006), hal: 13.
[3] Dalam artikel yang berjudul hermeneutika = dekonstruksi? Kritik oleh Muhammad ‘Imarah oleh Sahiran Syamsuddin yang disampaikan daam acara bedah buku hermeneutika dan pengembangan Ulumul Qur’an yang diselenggarakan oleh Yayasan Nawesea pada hari Selasa, 14 Desember 2010 di gedung Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[4] Syahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009). Dalam buku tersebur sahiron membahasa 3 pembahasan, pertama membahas tentang definisi, ruang lingkup, dan sejarah singkat perkembangan hermeneutika, kedua membahas ragam dan aliran hermeneutika (umum) modern, menyangkut aliran obyektivis, aliran obyektivis-cum-subyektivis, dan aliran subyektivis: pasca-strukturalisme sebagai sorotan, ketiga membahas relevansi hermeneutika dalam pengembangan ilmu tafsir/Ulumul Qur’an menyangkut interasi ilmu dalam tradisi dan khasanah islam, argumentasi visibilitas hermeneutika untuk diintegrasikan ke dalam Ilmu Tafsir, kemiripan aliran hermeneutika umum dan tripologi pemikiran tafsir kontemporer, dan signifikansi hermeneutika bagi pengembangan Ilmu Tafsir/Ta’wil.
[5] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, New York: The Seabury Press, 1975. Lihat juga Hans-Georg Gadamer, Hermeneutics, Religion, and Ethics, New Haven and London: Yale University Press, 1999.
[6] Jorge Garcia, A Theory of Textuality: The Logic and Epistemology, (Albany: State University of New York Press, 1991)
[7]  Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writing. Terj. Andrew Bowie, (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
[8] Hal ini disampaikan oleh Sahiran pada saat bedah bukunya yang berjudul Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an di Treatikal Perpus UIN Sunan Kalijaga.
[9] Pembahasan tentang insider and outsider secara lebih lanjut bisa dibaca di buku Richard C. Martin, ed. Approaches to Islam in Religious Studies Tucson: The University of Arizona, 1985. Dalam buku tersebut menyantumkan dua tokoh yaitu Muhammad Abdul Rauf yang berjudul Outsiders’ Interpretations of Islam a Muslim’s Point of View dan Fazlur Rahman pada penutup buku tersebut yang berjudul Approaches to Islam in Religious Studies. Ra’uf dalam sudut pandangnya bersih kukuh bahwa barat dalam mempelajari Islam bermotif kolonialisme, modernism yang digembar-gomborkan oleh barat tidak harus diterapkan di al-Azhar dengan merobak kurikulum yang ada. Ra’uf beranggapan bahwa sebagai outsider, barat tak ubahnya sebagai pihak yang berusaha mengobrak-ngabrik islam melalui Islamic Studies. Meskipun terlihat sangat tegas Ra’uf menilai bahwa Islamic Studies yang dilakukan oleh barat harus diverifikasi, dengan begitu pasti ada manfaat yang bisa diambil, minimal bisa menambah wacana di perpustakaan. Fazlur Rahman dalam pandangannya lebis bersikap moderat, maksudnya selain untuk menegaskan posisi Ra’uf, rahman juga perpendapat agar antara insider dan outsider harus ada sikap yang obyektif dalam Islamic Studies.
[10] Hal inilah menjadikan Khalid berani dengan tegas untuk menegaskan bahwa ada upaya-upaya yang sebenarnya sangat berpengaruh besar dalam pembentukan hokum akan tetapi kebanyakan orang lupa akan hal itu yaitu sikap keotoriteran. Sikap ini memang tidak terasa bagi (bahasanya Khalid) tentara-tentara Tuhan, akan tetapi sangat berlawanan dari mental keilmuan. Jika dalam bahasanya Muhammad arkoun menyatakan bahwa kultur islam selalu didera dengan problem tentang “yang tak terfikirkan” (unthought), dan “yang tak terpikirkan”(unthinkable), dalam kasus ini Khalid membahasakan dengan “yang terlupakan”. Khalid Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan, Terjemahan oleh Kurniawan Abdullah (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), hal. 49-50
[11] Khalid Abou El Fadl, Speaking in God’s Name, (England: Oneworld Oxford, 2003). Dalam bahasa Indonesia, Khalid Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, terjemahan oleh R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004)
[12] Webmaster@law.ucla.edu atau lebih jelasnya tentang siapa Khalid sebenarnya bisa lewat e mailnya yaitu: abouel@law.ucla.edu
[13] Hasan Basri Marwah [Peneliti pada Lembaga Studi Islam Progresif (LSIP) dan P3M Jakarta], di http://www.islamemansipatoris.com
[14] Syahiran Syasuddin, ibid, hal. 45-52
[15] Ilmu sejarah memberikan nuansa yang menyegarkan bagi kehidupan yang telah (madli), sekarang (hal), dan akan datang (istiqbal). Sekiranya menjadi benar tentang apa yang diutarakan oleh Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya tentang sejarah merupakan disiplin ilmu yang menjadi keluhuran bermadzhab, sumber buah manis faidah-faidah, kemurnian tujuan. Karena dengan pengalaman sejarah kita akan bisa berinstropeksi diri dengan membaca ahwal para umat terdahulu, baik menyangkut para nabi sampai para penguasa dalam konteks kepemimpinannya. Dengan begitu bagi pihak yang mampu menyerap sari pati dari sejarah tersebut tentunya dia akan mendapat faidah-faidah baik untuk agama maupun dunia. Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Daru al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, 2006), hal: 8
[16] Khalid, Ibid, hal: 96
[17] Khalid sengaja memilih wacana ini, meskipun dia mengakui bahwa kurang berkompeten dalam wacana feminisme, seperti pengakuannya: I have chose these respone in particular because, more than any others, they demonstrate the misuse and abuse of god’s authority in order to impose a suffocating patriarchy upon muslim society. Furthermore, I think that gender related issues present some of the most difficult and complicated challenges to contemporary Islamic law, and it is imperative that muslim legal specialists start to develop coherent and critical ways of dealing with these issues. However, this book does not belong to genre of gender studies of feminist jurisprudence. I do not have competence to engage these discourses. In addition, my primary aim in this work is to develop a conceptual frame work for analizing Islamic legal determination according to their own frame of reference. In the Islamic context, gender studies and feminist yurisprudence raise controversies that I am not eager to engage. I leave this to more resolute hearts. (saya memilih reaksi ini secara khusus(mengesampingkan yang lain) karena, mereka menampakkan penyalahgunaan otoritas tuhan untuk memaksa kedikdayaan partiarki pada masyarakat muslim. Selanjtunya, saya berfikir bahwa keterkaitan isu-isu gender pada era sekarang menjadi sangat rumit dan tantangan yang berat bagi hukum islam kontemporer, dan hal ini mengharuskan para spesialis pemikir muslimmemulai untuk mengembangkan keterkaitan (coherent) dan cara-cara pengkritikan (critical ways) yang berhadapan langsung dengan isu-isu tersebut. namun buku ini tidak panjang lebar mengupas aliran feminism dari studi gender atau yurisprudensi feminism. Saya tidak berkompeten untuk ikut campur pada diskursus tersebut. sebagai tambahan, tujuan utama pada kesempatan kali ini adalah untuk mengembalikan sebuah kerangka konseptual untuk menganalisa penentuan hukum islam yang sesuai dengan kerangka dari referensi yang mereka punyai. Dalam konteks keislaman, studi gender dan yurisprudensi feminisme memunculakan kontroversi-kontroversi yang saya tidak berhasrat untuk terlibat. Saya meninggalkannya dengan kerelaan hati ). Khalid, ibid, hal. xi
[18] Harun Nasution memberikan penjelasan tentang alasan yang menguatkan tentang perlunya pintu ijtihad tertutu yaitu ulama-ulama caliber besar yang sederajat dengan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ibnu Hambal sudah tidak terdapat lagi dan ijtihad yang dijalankan oleh ulama-ulama yang belum mencapai derajat mujtahid membawa kekacauan dalam bidang hukum dan dalam masyarakat. Diberitakan bahwa kasus yang sama di kota yang sama memperoleh penyelesaian hukum yang bertentangan. Dalam suasana yang demikian para ulama melihat perlunya pintu ijtihad ditutup dan pengadilan perkara tidak boleh lagi didasarkan kecuali atas pendapat ulama-ulama besar sebelumnya. Orang tidak boleh lagi pergi langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah untuk menentukan hukum atau untuk member fatwa. Di sini timbullah paham dan sikap taqlid, yaitu mengikuti pendapat ulama-ulama sebelumnya. Hal yang demikian membawa keadaan statis dalam bidang hukum Islam, yang pengaruhnya masih terasa sampai sekarang. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2002), hal: 15
[19] Khalid Abou El Fadl, Speaking in God’s Name, (England: Oneworld Oxford, 2003), hal: 55-56
[20] Meminjam istilah yang digunakan oleh Amin Abdullah pada pengantar buku yang berjudul “Atas Nama Tuhan.”
[21] Hal ini Khalid pertegas dalam konklusinya dengan meyatakan “deffering to God and honoring the texs (intruction), requires a human being to exercise self-restraint in speaking for God and the text. But discharging the obligations of human agency mandates that the reader (agent) take his or her role very seriously by aggressively and vigorously invertigating both God and God’s instructions. “God knows best” is not invitation to intellectual complacency and smugness, but, as the Qur’an state, to realize that “over every knowledgeable person is one more knowlwdgeable.” Khalid, ibid, hal: 165
[22] Imam An-Nawawi, Riyadlu al-Shalihin, (al-Maktabah al-Syamilah, tt), Juz: 1 hal: 292
[23] They would often write of the conclution of their legal discussions the phrase, “and God knows best”(wa allahu a’lamu). Symbolically, this meant that while the jurist was submitting his or her efforts for consideration, ultimately, only god knowa what right and wrong. (para ulama sering kali menulis pada kesimpulan hasil kajiannya dengan kalimat (wa allahu a’lamu), dan Allah lebih mengetahui. Secara simbolitas, hal ini mengartikan bahwa para ahli hukum menyantumkan pada hasil usahanya pada pertimbangan, bahwa hanya Tuhan yang mengetahui mana yang benar dan salah). Khalid, Ibid, hal. 32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar