assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat datang di kajian kitab kuning pesantren

Senin, 10 Desember 2012

Kebatilan Pembagian Tauhid Menjadi Tiga; Penggunaan kata robbun, serta tauhid uluhiyyah.



Penggunaan kata رب dan اله dalam al-Qur’an
Dalam pembahasan ini penulis akan menjelaskan penggunaan lafadz رب dan اله dalam al-Qur’an serta penjelasan tentang sinonimitas keduanya. Sekte Wahabi membedakan kata رب dan اله, hingga akhirnya memunculkan konsep tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah. Padahal para ulama salaf tidak membedakan antara keduanya. Oleh karena itu tidak didapatkan pendapat para ulama yang membagi tauhid menjadi Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa al-Sifat, hanya Ibnu Taimiyyah-lah yang melakukan pembagian ini dan diikuti oleh tokoh-tokoh Wahabi pada masa berikutnya hingga masa sekarang. Untuk membuktikan hal ini perhatikan ayat-ayat al-Qur’an berikut ini :
1.        Allah berfirman dalam surat Yusuf ayat 39-40 :

أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ - مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.”
Adapun ibadah (menyembah) yang dilakukan oleh orang-orang musyrik adalah kepada tuhan-tuhan (arbab) selain Allah. Ayat di atas tidak menggunakan kata ilah, namun menggunakan kata arbab jama’ dari rabb untuk menyebut Allah sebagai tuhan yang berhak












disembah. Dengan demikian tidak ada perbedaan antara rabb dan ilah.
2.        Allah berfirman dalam surat al-Anbiya’ ayat 22 :
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آَلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.”
Ayat ini menegaskan bahwa langit dan bumi itu akan binasa atau rusak jika ada tuhan-tuhan (ilah) selain Allah. Pamahaman atas rusaknya langit dan bumi disebabkan oleh banyaknnya Tuhan (ilah) akan muncul jika kita memahami kata ilah dalam ayat tersebut sebagai rabb, artinya dzat yang mengatur semua urusan makhluk. Karena tidak mungkin jika bumi diatur oleh dua dzat atau lebih. Dengan demikian ayat di atas menunjukkan kepada kita bahwa kata ilah dan rabb adalah sinonim, terbukti kata ilah dalam ayat tersebut harus kita pahami sebagai rabb (Tuhan yang Maha Mengatur).
3.        Nabi Harun berkata kepada orang yang menyembah lembu :
وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَنُ
“Sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) yang Maha pemurah.” (QS. Thaha : 90).

Dalam ayat di atas digambarkan bahwa Nabi Harun menegur orang yang menyembah lembu dan menjelaskan kepadanya bahwa Tuhan mereka (rabb) adalah al-Rahman bukan

kata rabb dalam ayat di atas digunakan dalam konteks Tuhan sebagai dzat yang disembah (ilah). Di samping ayat ini menjelaskan sinonimitas kata rabb dan ilah  ayat ini juga menjelaskan kebatilan pendapat yang menyatakan bahwa semua umat mengakui tauhid Rububiyyah sebagaimana keyakinan sekte Wahabi.
1.        Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 80 :
وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا
“Dan tidak pula menyuruhmu menjadikan malaikat dan para Nabi sebagai Tuhan….”
Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang musyrik mempunyai banyak Tuhan, ini ditegaskan dengan penggunaan redaksi أَرْبَابًا jama’ dari رب. Lalu dijelaskan pula bahwa mereka menjadikan malaikat-malaikat dan Nabi-Nabi Allah sebagai Tuhan (arbaab). Dengan demikian ayat ini berarti mengingkari keyakinan sekte Wahabi yang berpandangan bahwa orang-orang musyrik meyakini rububiyyah Allah atau Allah adalah satu-satunya rabb. Karena terbukti redaksi ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa orang-orang musyrik memiliki Tuhan lebih dari satu.
Ada Apa dengan Tauhid Uluhiyyah?
    Pembagian tauhid yang ke dua adalah tauhid Uluhiyyah. Dalam pandangan sekte wahabi tauhid Uluhiyyah adalah :
وأنه يستحق سبحانه وتعالى أن يعبد وحده لا شريك له ، دون ما سواه جل وعلا .
“Sesungguhnya Allah swt adalah satu-satunya dzat yang berhak untuk disembah, tidak lainnya dan tidak ada sekutu baginya.” (Bayan al-Tauhid : 83).
Dalam definisi yang lain disebutkan :
فتوحيد الألوهية: توحيد الله بأفعال العباد، كالدعاء والاستغاثة والاستعاذة والذبح والنذر وغيرها من أنواع العبادة، كلُّها يجب على العباد أن يخصُّوا الله تعالى بها، وأن لا يجعلوا له فيها شريكاً.
“Adalah mengesakan Allah dalam perbuatan-perbuatan hamba seperti berdoa, istighatsah, isti’adah, menyembelih, bernadzar dan selainnya dari macam-macam ibadah. Wajib bagi hamba untuk mengkhususkan semua ini hanya kepada Allah semata. Dan tidak menjadikan bagi Allah sekutu dalam hal ini. (al-Intishar li Ahlissunnah wal Hadits fi Raddi Abathil Hasan al-Maliki : 181).
Sama seperti tauhid Rububiyyah, jika definisi tauhid Uluhiyyah ini dipahami dengan sederhana maka tidak ada kebatilan di dalamnya. Dengan tanpa pikir panjang kita semua akan menerimanya. Karena semua orang mukmin akan meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya dzat yang wajib dan berhak untuk disembah, tidak ada dzat selain Allah yang berhak untuk disembah. Namun, yang menjadi masalah dari pembagian tauhid yang ke dua ini adalah pengkafiran dan pemusyrikan orang-orang yang melakukan istigatsah (minta tolong) kepada selain Allah. Artinya, dengan konsep tauhid ini, sekte Wahabi mengkafirkan semua umat Islam yang melakukan tawassul dan istigatsah kepada para Nabi dan para wali, karena dalam pandangan mereka ini termasuk dari ibadah dan ibadah hanya boleh dilakukan kepada Allah.
Penulis merasa tidak perlu untuk menjelaskan kebolehan tawassul dan istigatsah kepada para Nabi dan wali dengan menampilkan dalil-dalil al-Qur’an atau hadits, karena fokus tulisan dalam tulisan ini tidak untuk menjelaskan hal ini secara rinci melainkan hanya sekedar penjelasan tentang tiga konsep tauhid yang dicetuskan Ibnu Taimiyyah. Penjelasan tentang hal ini (tawassul dan istighatsah) insyaallah akan dibahas pada kajian-kajian berikutnya. 
Tauhid Asma’ wa al-Sifat
Konsep tauhid yang ke tiga versi Wahabi adalah Tauhid Asma’ wa al-Sifat. Jika kita memahami konsep ini secara sederhana maka kita bisa menyimpulkan bahwa tauhid ini berarti pengakuan dan keyakinan bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat. Pernyataan seperti ini tidak salah. Namun -seperti halnya tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah- ada maksud lain di balik definisi dari tauhid bagian ke tiga ini. Oleh karena itu perlu bagi kita untuk mendefinisikannya sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh sekte Wahabi.
Tauhid Asma’ wa al-Sifat adalah :

الأسماء والصفات على وجه يليق بكمال الله وجلاله، من غير تمثيل أو تكييف، ومن غير تحريف أو تعطيل.
“Tauhid Asma’ wa al-Sifat adalah menetapkan sesuatu yang telah ditetapkan Allah bagi diri-Nya (dzat) dan ditetapkan oleh Rasul-Nya dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan-Nya, dengan tanpa tamsil, takyif, tahrif dan ta’thil.” (al-Intishar li Ahlissunnah wa al-Hadits fi Radd Abathili Hasan al-Maliki : 181).
Shalih bin Abdul Aziz Al Syaikh mendefinisikan Tauhid Asma’ wa al-Sifat sebagai :
الاعتقاد الجازم بأَنَّ الله- عزَّ وجلَّ- له الأَسماء الحسنى والصفات العُلى ، وهو متَّصف بجميع صفات الكمال ، ومنزَّهٌ عن جميع صفات النقص ، متفرد بذلك عن جميع الكائنات .وأَهل السُنّة والجماعة : يَعْرِفُونَ ربهم بصفاته الواردة في القرآن والسنَة ، ويصفون ربَّهم بما وصف به نفسه ، وبما وصفه به رسولهُ – صلى الله عليه وعلى آله وسلم- ولا يحرِّفون الكَلِمَ عن مواضعه ، ولا يُلحدون في أَسمائه وآياته ، ويثبتون لله ما أَثبته لنفسه من غير تمثيل ، ولا تكييف ، ولا تعطيل ، ولا تحريف ،
“Adalah keyakinan yang pasti bahwa sesungguhnya Allah swt. memiliki nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang agung. Dia disifati dengan semua sifat kesempurnaan dan disucikan dari semua sifat kekukarangan, dan tidak ada dari semua makhluk yang memiliknya (kesempurnaan). Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah mengenal Tuhan mereka dengan sifatnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, mereka mensifati tuhannya dengan sifat yang telah ditetapkan Allah bagi diri-Nya (dzat) dan ditetapkan oleh Rasul-Nya, mereka tidak merubah kalimat-kalimat dari tempatnya, tidak mengingkari nama-nama dan ayat-ayat-Nya, dan menetapkan bagi Allah sesuatu yang telah ditetapkan bagi diri-Nya sendiri dengan tanpa tamsil, takyif, ta’thil dan tahrif’.” (al-Wajiz fi Aqidat al-salaf al-shaleh : 42).
Penulis merasa dua definisi di atas sudah cukup mewakili definisi-definisi yang dijelaskan oleh tokoh-tokoh Wahabi lainnya. Karena tidak ada perbedaan yang esensial di dalamnya, perbedaanya mungkin hanya terdapat dari segi redaksinya saja.
Dari dua definisi di atas, tauhid Asma’ wa al-Sifat berarti meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang wajib kita imani dengan tanpa tahrif atau takwil.  Artinya, ketika Allah dengan jelas mengatakan bahwa Dia memiliki tangan, maka kata ‘tangan’ harus kita imani apa adanya, berdasarkan maknanya yang dzahir, tanpa memalingkannya kepada makna-makna yang lain (takwil). Jadi, tauhid Asma’ wa al-Sifat tidak hanya meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat saja, melainkan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang ditetapkan bagi dzat-Nya wajib dipahami secara dzahir tanpa perlu ditakwilkan. Inilah yang menjadi persoalan dari pembagian tauhid yang ke tiga ini.
Dengan demikian –dalam pandangan mereka- orang-orang yang melakukan takwil berarti telah melanggar konsep tauhid yang ke tiga ini. Dan logikanya dia masih belum dianggap mukmin. Seperti pernyataan mereka :
فلا يكون العبد مؤمنا حتى يوحد الله في الربوبية والألوهية وفي الأسماء والصفات.
“Seorang hamba tidak akan dianggap beriman sebelum mengakui tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Azma’ wa al-Sifat.” (I’tiqad Ahlussunnah syarh Ashabul Hadits : 11).
Padahal jika kita lihat dalam kitab-kitab ulama salaf, mereka semua telah melakukan takwil atas ayat-ayat yang mutasyabihat dan mereka tidak mengingkarinya. Karena ketika ayat-ayat mutasyabihat tidak ditakwil, maka akan menjatuhkan kita dalam penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya (tasybih) sekaligus menjatuhkan kita dalam keyakinan bahwa Allah berbentuk jism seperti manusia (tajsim) yang memiliki tangan, wajah, kaki dan sebagainya.
Para ulama Ahlusunnah wal Jama’ah telah mentakwil ayat-ayat mutasyabihat dan mereka tidak menetapkan ayat-ayat tersebut di atas makna dzhahirnya. Hanya orang-orang Wahabi-lah yang tidak mau takwil, karena takwil dalam pandangan mereka adalah tahrif dan tahrif termasuk kebiasaan orang-orang Yahudi. Dalam pembahasan berikutnya, penulis akan mengemukakan pentakwilan yang dilakukan oleh para ulama

1 komentar:

  1. Di Qur’an tidak ada ayat yg menyatakan org kafir mengaku Allah sebagai Robb mereka ( Tauhid Rububiyah ). Jadi pernyataan Ulama Wahabi bhw org kafir mengakui Tauhid Rububiyah adalah bathil.

    BalasHapus