O
نَحْمَدُ
اللهَ عَلَى آلَائِهِ وَ نَشْكُرُهُ عَلَى تَوَاتُرِ نَعْمَائِهِ وَ نُصَلِّي وَ نُسَلِّمُ
عَلَى خَاتَمِ أَنْبِيَائِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ أَصْفِيَائِهِ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ وَأَخِصَّائِهِ أَمَّا بَعْدُ:
عَنْ أَنَسٍ t عن النَّبِيُّ r قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ
اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ
لَا يُحِبُّهُ إِلَّا للهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا
يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ. رواه البخاري.
“Sahabat Anas t
berkata, “Nabi r
bersabda: “Tiga perkara, barangsiapa memilikinya, maka akan merasakan manisnya
iman. Pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya melebihi selain-Nya.
Kedua, mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, dan ketiga,
benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci akan dilemparkan ke neraka.”
(HR. al-Bukhari)
Prolog
ثانيا :
القدوة الحسنة :
مما يشهد
له الحس والواقع أن الصغير ينساق وراء الكبير ويقلده ، والضعيف يلجأ إلى القوي
ويحاول محاكاته ، والجاهل يعترف للعالم بالفضل فيقتدي به . ولذا كان الأنبياء محل
الاقتداء دون منازع نظرا لكمالهم .
قال عز
وجل في سياق ذكر الأنبياء : { أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ
اقْتَدِهِ } . . . (1) .
وقال : {
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا } (2) .
وكذا
العلماء لكونهم ورثة الأنبياء .
وهكذا كل
مسلم فإنه مطالب بأن يكون أسوة طيبة لغيره ، وألا يكون داعية إلى ضلالة . ثانيا :
القدوة الحسنة :
مما يشهد
له الحس والواقع أن الصغير ينساق وراء الكبير ويقلده ، والضعيف يلجأ إلى القوي
ويحاول محاكاته ، والجاهل يعترف للعالم بالفضل فيقتدي به . ولذا كان الأنبياء محل
الاقتداء دون منازع نظرا لكمالهم .
قال عز
وجل في سياق ذكر الأنبياء : { أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ
اقْتَدِهِ } . . . (1) .
وقال : {
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا } (2) .
وكذا
العلماء لكونهم ورثة الأنبياء .
وهكذا كل
مسلم فإنه مطالب بأن يكون أسوة طيبة لغيره ، وألا يكون داعية إلى ضلالة . ثانيا :
القدوة الحسنة :
مما يشهد
له الحس والواقع أن الصغير ينساق وراء الكبير ويقلده ، والضعيف يلجأ إلى القوي
ويحاول محاكاته ، والجاهل يعترف للعالم بالفضل فيقتدي به . ولذا كان الأنبياء محل
الاقتداء دون منازع نظرا لكمالهم .
قال عز
وجل في سياق ذكر الأنبياء : { أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ
اقْتَدِهِ } . . . (1) .
وقال : {
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا } (2) .
وكذا
العلماء لكونهم ورثة الأنبياء .
وهكذا كل
مسلم فإنه مطالب بأن يكون أسوة طيبة لغيره ، وألا يكون داعية إلى ضلالة .Beredarnya keputusan bahtsul masail PC LBM NU Jember
tentang Hukum Penodaan Agama Islam, terkait hukum murtad dan kafirnya pernyataan Bupati Jember MZA. Djalal di Garahan Silo pada hari Rabu 28 April
2010, yang mengatakan, “Nabi Muhammad itu sombong”, menimbulkan polemik dari
kalangan pendukung Djalal. Setidaknya sampai hari ini ada tulisan yang beredar,
di antaranya buku yang berjudul “RENUNGAN DARI SEBUAH KEGELISAHAN Atas Keputusan Bahtsul Masail (PC LBM NU) Kab. Jember Tentang
“Penodaan Agama”. Buku itu
ditulis oleh KH. Nur Moh. Ihsan
Iskandar, KH. Afton Ilman Huda, HM Farid Najmuddin, Abdul Muis M.Si, Abdul Latief M.Si dan M. Itqon Syauqi S.Th.I.
Bahkan nama yang terakhir ini, M. Itqon Syauqi, juga menulis makalah bantahan
berjudul “Distorsi Makna Bahasa, Logika Selektif, dan Pelecehan terhadap
Kecerdasan Publik”.
Kami tertarik untuk nimbrung
dalam dialog polemis ini. Setelah kami melihat bahwa argumentasi para pendukung
Bupati Djalal tidak mengena, apalagi sebagai argumen penguat mengambil pendapat
tokoh Liberal, Khaled Abou el-Fadhl, yang bermukim di Amerika, tentu sangat
tabu untuk diterima di kalangan pesantren dan kiai-kiai PKNU. Sementara yang
menjadi rujukan Tim LBM NU adalah kitab-kitab yang otoritatif (mu’tabar)
dan menjadi standart di kalangan pesantren. Seharusnya Gus Afton dkk tidak lari
dari rujukan-rujukan LBM karena rujukan tersebut dianggap otoritatif di
kalangan para kiai termasuk para kiai PKNU. Dan baik sekali jika Tim PKNU
meminta fatwa kepada KH. Abdullah Faqih Langitan, KH. M. Subadar Pasuruan, KH.
Ma’ruf Amin, dll, kira-kira sejalankah fatwa beliau dengan pandangan Gus Afton,
dkk? Yakni dalam hal memaki Nabi r tidaklah murtad
jika dengan tidak diniati menghina.
Tulisan ini bermaksud memberikan tanggapan terhadap
bantahan tersebut terkait dengan beberapa argumen yang layak ditanggapi.
Sedangkan argumen-argumen yang tidak layak untuk ditanggapi, kami tidak akan
memberikan tanggapan. Namun sebelum tulisan ini
menyajikan tanggapan terhadap tim pembela Djalal, di sini kami akan memberikan uraian singkat tentang
argumen PC LBM NU Jember dalam hukum murtadnya pernyataan Djalal tersebut.
Ucapan
Tidak Bermaksud Melecehkan
Islam diturunkan oleh Allah I sebagai agama yang sempurna dan paripurna. Kesempurnaan Islam juga
terejawantahkan dalam aturan-aturan dan hukum-hukumnya yang selalu
mensinergikan antara perbuatan fisik dengan interaksi hati atau niat (tujuan).
Islam tidak hanya mengharuskan setiap pemeluknya agar selalu memperbaiki
tindakan dan ucapan. Tetapi juga mengharuskan memperbaiki niat dan tujuan dalam
setiap tindakan dan ucapan. Pandangan yang mengatakan bahwa tindakan dan ucapan tidak baik dapat dibenarkan asal tujuannya baik atau tidak bermaksud
melecehkan jelas keliru besar dan salah total.
Islam memang mengharuskan umatnya agar selalu
mengatur aktifitas batinnya atau niatnya dalam setiap tindakan dan ucapan. Hal
ini seperti ditegaskan dalam al-Qur’an al-Karim dan Sunnah:
قَالَ اللهُ
تَعَالَى : وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ [ البينة : 5 ]
“Mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah
: 5).
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t قَالَ: سَمِعتُ رَسُولَ اللهِ r، يقُولُ : (( إنّمَا الأَعْمَالُ بالنِّيّاتِ ، وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى
الله ورسوله، ومن كانت هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصيبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ
يَنْكَحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْه )) .
مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ .
“Dari Umar bin al-Khaththabb t berkata, “Aku mendengar Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya semua amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang akan memperoleh
pahala yang diniatinya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya
maka hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya. Tetapi barangsiapa yang berhijrah
karena dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka
hijrahnya sesuai dengan tujuannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua dalil di atas memberikan motivasi kepada kita
agar selalu memperbaiki niat dan tujuan kita dalam setiap langkah, tindakan dan
ucapan. Imam al-Nawawi menaruh kedua dalil di atas dalam kitabnya Riyadh
al-Shalihin pada bab ikhlas dan menghadirkan niat yang baik dalam setiap
perbuatan. Namun demikian, Islam tidak hanya memerintahkan kita berniat baik
atau tidak bermaksud berniat jelek dalam setiap langkah dan tindakan kita,
terutama dalam berbicara. Islam juga memerintahkan agar dalam setiap berbicara kita selalu mengeluarkan kata-kata yang baik. Allah I berfirman:
وَقُوْلُوْا
لِلنَّاسِ حُسْنًا. (البقرة : 83).
“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada
manusia.” (QS. Al-Baqarah : 83).
Dalam ayat yang lain Allah I juga berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ
لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. [الأحزاب : 70
، 71]
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar.” (QS. Al-Ahzab : 70-71).
Dalam sebuah hadits Rasulullah r bersabda:
وعن
أَبي هريرة t، قَالَ : قَالَ رَسُول الله r مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَومِ
الآخِرِ ، فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
“Dari Abu Hurairah t berkata, Rasulullah r bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari kemudian, maka berkatalah yang baik atau diam saja.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ t، أَنَّ
النَّبِيَّ r قَالَ سِبَابُ
الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ. رواه البخاري.
“Dari Abdullah bin Mas’ud t, bahwa Nabi r bersabda: “Mencaci maki
seorang Muslim adalah perbuatan fasiq dan memeranginya adalah kekafiran.” HR. al-Bukhari.
Demikianlah petunjuk dalam agama kita yang menuntun kita agar selalu berhati-hati dalam bertindak,
berbuat dan berkata dengan baik. Kalau tidak menemukan kata-kata yang baik,
kita harus diam saja. Oleh karena itu, kita tidak mungkin menerima alasan
seseorang ketika berkata buruk dan jelek karena alasan tidak bermaksud
melecehkan. Hal demikian jelas tidak dapat menemukan pembenaran baik dalam tata
aturan agama maupun dalam norma-norma tradisi. Seorang santri yang berpidato di
hadapan kiainya, lalu dengan kepala menunduk dan penuh ta’zhim santri
itu mengatakan dalam pengantar pidatonya, “Yang kurang ajar Kiai Fulan yang
sombong, maksud saya kurang ajar se begus dan sombong se begus”,
tentu akan dianggap santri yang telah menghina dan melecehkan gurunya. Frasa
kurang ajar se begus dan sombong se begus tidak akan menemukan
pembenaran baik dalam ranah agama maupun tradisi.
Dari sini kita tidak dapat menemukan alasan untuk
membenarkan pernyataan Djalal yang mengatakan, “Nabi Muhammad itu sombong”. Dan
di bagian belakang ia mengatakan, “tape sombong se begus”. Pernyataan Djalal ini persis dengan pernyataan, bahwa para
kiai pendukung Djalal atau tim penulis RDSK adalah kiae
tamancok, tape tamancok se ro’om (kiai tai ayam, tapi tai ayam yang harum). Pernyataan ini jelas
suatu penghinaan dan pelecehan. Karena yang namanya tai ayam itu pasti berbau busuk, tidak ada yang
harum. Sama dengan sombong, sampai hari kiamat pun tidak ada sombong yang bagus.
Melabelkan sombong, sifat Iblis yang terlaknat, terhadap pribadi agung Rasulullah r, berarti mencaci maki beliau yang hukumnya murtad. Dalam semantik, kata
sombong itu termasuk kategori kosakata monosemi, yakni frasa yang hanya
memiliki satu makna (KBBI hal. 754). Kata sombong se begus sama dengan tamancok
ro’om, yang tidak masuk akal kita temukan. Kalau memang ada tamancok
ro’om, tolong tunjukkan kepada kami. Al-Imam al-Dasuqi mendefinisikan caci maki terhadap Nabi r sebagai berikut:
قَالَ الدَّسُوْقِيُّ
وَهُوَ كُلُّ كَلاَمٍ قَبِيْحٍ وَحِيْنَئِذٍ فَالْقَذْفُ وَاْلاِسْتِخْفَافُ وَإِلْحَاقُ
النَّقْصِ كُلُّ ذَلِكَ دَاخِلٌ فِي السَّبِّ. (حاشية الدسوقي 4/309).
“Imam
al-Dasuqi berkata, menistakan atau mencaci maki adalah setiap perkataan buruk,
oleh karena itu kata-kata qadzaf (tuduhan zina), merendahkan dan melabelkan
kekurangan,
semuanya termasuk kategori penistaan (caci maki).” (Hasyiyah al-Dasuqi, juz 4
hal. 309).
Keputusan
Bahtsul Masail LBM
Agaknya keputusan bahtsul masail PC LBM NU Jember memang memiliki dasar argumentasi yang kuat dan tidak
terbantahkan. Hal tersebut disamping karena pernyataan Djalal “Nabi Muhammad
itu sombong”, jelas keliru dan tidak mungkin menemukan pembenaran dan pembelaan, baik dalam ranah agama maupun tradisi, juga dasar
argumentasi LBM sangat kuat dan mengambil dari kitab-kitab yang otoritatif di
kalangan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Yaitu dua kitab populer di kalangan ulama, kitab al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa karya monumental al-Imam al-Hafizh al-Qadhi Iyadh dan kitab al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam karya al-Imam Syihabuddin Ibnu Hajar al-Haitami.
Kedua kitab ini telah direkomendasi oleh kitab Sullam al-Taufiq yang
diajarkan oleh semua kiai di berbagai tempat, untuk dikaji sebagai rujukan
dalam masalah-masalah keagamaan, terutama amaliah sehari-hari. Al-Imam
Ibnu Hajar al-Haitami, al-Qadhi ‘Iyadh dan pengarang Sullam al-Taufiq,
jelas termasuk ulama-ulama yang tidak diragukan otoritasnya di kalangan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah, termasuk para kiai PKNU.
Di antara ibarot dalam kedua kitab tersebut yang
tidak mungkin terbantahkan adalah sebagai berikut:
الوَجْهُ
الثَّانِيْ وَهُوَ أَنْ يَكُوْنَ الْقَائِلُ لِمَا قَالَ فِيْ جِهَتِهِ r غَيْرَ قَاصِدٍ لِلسَّبِّ وَاْلإِزْرَاءِ وَلاَ مُعْتَقِدٍ لَهُ وَلَكِنَّهُ تَكَلَّمَ فِيْ جِهَتِهِ r بِكَلِمَةِ
الْكُفْرِ مِنْ لَعْنِهِ أَوْ سَبِّهِ أَوْ تَكْذِيْبِهِ أَوْ إِضَافَةِ مَا لاَ
يَجُوْزُ عَلَيْهِ أَوْ نَفْيِ مَا يَجِبُ لَهُ مِمَّا هُوَ فِيْ حَقِّهِ r نَقِيْصَةٌ مِثْلُ
أَنْ يَنْسِبَ إِلَيْهِ إِتْيانَ كَبِيْرَةٍ أَوْ مُدَاهَنَةٍ فِيْ تَبْلِيْغِ
الرِّسَالَةِ أَوْ فِيْ حُكْمٍ بَيْنَ النَّاسِ أَوْ يَغُضُّ مِنْ مَرْتَبَتِهِ
أَوْ شَرَفِ نَسَبِهِ أَوْ وُفُوْرِ عِلْمِهِ أَوْ زُهْدِهِ أَوْ يَأْتِيْ
بِسَفَهٍ مِنَ الْقَوْلِ أَوْ قَبِيْحٍ مِنَ الْكَلاَمِ وَنَوْعٍ مِنَ السَّبِّ
فِيْ جِهَتِهِ وَإِنْ ظَهَرَ بِدَلِيْلِ حَالِهِ أَنَّهُ لَمْ يَتَعَمَّدْ
ذَمَّهُ وَلَمْ يَقْصِدْ سَبَّهُ إِمَّا لِجَهَالَةٍ حَمَلَتْهُ عَلىَ مَا قاَلَهُ
أَوْ لِضَجَرٍ أَوْ سُكْرٍ اضْطَرَّهُ إِلَيْهِ أَوْ قِلَّةِ مُرَاقَبَةٍ وَضَبْطٍ
لِلِسَانِهِ، وَعَجْرَفَةٍ وَتَهَوُّرٍ فِيْ كَلاَمِهِ فَحُكْمُ هَذَا
الْوَجْهِ حُكْمُ الْوَجْهِ اْلأَوَّلِ الْقَتْلُ دُوْنَ تَلَعْثُمٍ إِذْ لاَ
يُعْذَرُ أَحَدٌ فِي الْكُفْرِ بِالْجَهَالَةِ وَلاَ بِدَعْوَى زَلَلِ اللِّسَانِ
وَلاَ بِشَيْءٍ مِمَّا ذَكَرْناَهُ إِذَا كَانَ عَقْلُهُ فِيْ فِطْرَتِهِ
سَلِيْمًا إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيْمَانِ وَبِهَذَا
أَفْتَى اْلأَنْدَلُسِيُّوْنَ عَلىَ ابْنِ حَاتِمٍ فِيْ نَفْيِهِ الزُّهْدَ عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ r الَّذِىْ
قَدَّمْنَاهُ. (الشفا
- (2 / 231-232)
“Kedua, orang yang mengatakan tentang pribadi Nabi r itu tidak bermaksud menghujat dan meremehkan
serta tidak meyakininya, tetapi ia berbicara tentang pribadi Nabi r dengan kata-kata kufur seperti mengutuknya,
menghujatnya, mendustakannya, atau menisbatkan sesuatu yang tidak boleh bagi
Nabi r, atau menafikan sesuatu yang
wajib bagi Nabi r, yang
mana hal tersebut dianggap sebagai kekurangan dalam pribadi Nabi r seperti menisbatkan melakukan dosa besar, atau
mencari muka dalam menyampaikan risalah atau dalam memutuskan di antara
manusia, atau merendahkan derajatnya, kemuliaan nasabnya, kesempurnaan ilmu dan
kezuhudannya, atau melontarkan perkataan bodoh, atau kata-kata buruk, dan
semacam pelecehan terhadap beliau, walaupun dari indikasi tingkah lakunya,
tampak bahwa ia tidak sengaja mencelanya dan tidak bermaksud melecehkannya, ada
kalanya karena kebodohan yang mendorong pada perkataan itu, atau karena situasi
gelisah dan bosan, atau karena mabuk yang memaksa perkataan tersebut, atau
karena kurang mengawasi dan mengatur lidahnya, atau karena kesombongan dan
kecerobohan dalam perkataannya, maka hukum yang demikian ini adalah sama
dengan yang sebelumnya, yaitu orang tersebut harus dibunuh tanpa pertimbangan, karena
seseorang tidak dimaafkan dalam kekufuran dengan alasan tidak tahu, atau alasan
lidahnya terpereset, dan alasan lain yang telah kami sebutkan, apabila
orang tersebut jiwanya normal, kecuali orang yang dipaksa (mengucapkan
kata-kata kufur) sedangkan hatinya tenang dalam keimanan. Dan dengan hukum ini,
para ulama Andalusia berfatwa terhadap Ibnu Hatim yang menafikan kezuhudan dari
Rasulullah r di atas.” (Al-Syifa’ bi-Ta’rif
Huquq al-Mushthafa, juz 2, hal. 321-323).
Hal senada juga
ditegaskan oleh al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-I’lam bi-Qawathi’i al-Islam berikut
ini:
قَالَ الْقَاضِيْ عِيَاضُ: مَنْ تَكَلَّمَ غَيْرَ
قَاصِدٍ لِلسَّبِّ لَهُ وَلاَ مُعْتَقِدٍ لَهُ وَلَكِنَّهُ تَكَلَّمَ فِيْ
جِهَتِهِ r
بِكَلِمَةِ الْكُفْرِ مِنْ لَعْنِهِ أَوْ سَبِّهِ أَوْ تَكْذِيْبِهِ أَوْ
إِضَافَةِ مَا لاَ يَجُوْزُ عَلَيْهِ أَوْ نَفْيِ مَا يَجِبُ لَهُ مِمَّا هُوَ
فِيْ حَقِّهِ r
نَقِيْصَةٌ مِثْلُ أَنْ يَنْسِبَ إِلَيْهِ إِتْياَنَ كَبِيْرَةٍ أَوْ مُدَاهَنَةٍ
فِيْ تَبْلِيْغِ الرِّسَالَةِ أَوْ فِيْ حُكْمٍ بَيْنَ النَاسِ أَوْ نَقْصٍ مِنْ
مَرْتَبَتِهِ أَوْ شَرَفِ نَسَبِهِ أَوْ وُفُوْرِ عِلْمِهِ أَوْ زُهْدِهِ أَوْ
يَأْتِيْ بِسَفَهٍ مِنَ الْقَوْلِ أَوْ قَبِيْحٍ مِنَ الْكَلاَمِ وَنَوْعٍ مِنَ
السَّبِّ فِيْ جِهَتِهِ وَإِنْ ظَهَرَ بِدَلِيْلِ حَالِهِ أَنَّهُ لَمْ
يَتَعَمَّدْ ذَمَّهُ وَلَمْ يَقْصِدْ سَبَّهُ إِمَّا لِجَهَالَةٍ حَمَلَتْهُ عَلىَ
مَا قَالَهُ أَوْ لِضَجَرٍ أَوْ سُكْرٍ اضْطَرَّهُ إِلَيْهِ أَوْ قِلَّةِ
مُرَاقَبَةٍ وَضَبْطٍ لِلِسَانِهِ، فَحُكْمُهُ الْقَتْلُ دُوْنَ تَلَعْثُمٍ إِذْ
لاَ يُعْذَرُ أَحَدٌ فِي الْكُفْرِ بِالْجَهَالَةِ وَلاَ بِدَعْوَى زَلَلِ
اللِّسَانِ وَلاَ بِشَيْءٍ مِمَّا ذَكَرْنَاهُ إِذَا كَانَ عَقْلُهُ فِيْ
فِطْرَتِهِ سَلِيْمًا إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيْمَانِ
وَبِهَذَا أَفْتَى اْلأَنْدَلُسِيُّوْنَ عَلىَ مَنْ نَفَى الزُّهْدَ عَنْهُ r كَمَا مَرَّ انتهى. وَمَا
ذَكَرَهُ ظَاهِرٌ مُوَافِقٌ لِمَذْهَبِنَا اِذْ الْمَدَارُ فِي الْحُكْمِ
بِالْكُفْرِ عَلىَ الظَّوَاهِرِ وَلاَ نَظْرَ لِلْمَقْصُوْدِ وَالنِيَّاتِ وَلاَ
نَظْرَ لِقَرَائِنِ حَالِهِ اهـ. (الإعلام بقواطع
الإسلام، ص/382).
“Al-Qadhi
‘Iyadh berkata: “Orang yang berbicara tanpa bermaksud menghujat dan
meremehkan serta tidak meyakininya, tetapi ia berbicara tentang pribadi
Nabi r dengan kata-kata kufur seperti
mengutuknya, menghujatnya, mendustakannya, atau menisbatkan sesuatu yang tidak
boleh bagi Nabi r, atau
menafikan sesuatu yang wajib bagi Nabi r, yang
mana hal tersebut dianggap sebagai kekurangan dalam pribadi Nabi r seperti menisbatkan melakukan dosa besar, atau mencari
muka dalam menyampaikan risalah, atau dalam memutuskan di antara manusia, atau
merendahkan derajatnya, kemuliaan nasabnya, kesempurnaan ilmu dan kezuhudannya,
atau melontarkan perkataan bodoh, atau kata-kata buruk, dan semacam pelecehan
terhadap beliau, walaupun dari indikasi tingkah lakunya, tampak bahwa ia
tidak sengaja mencelanya dan tidak bermaksud melecehkannya, ada kalanya karena
kebodohan yang mendorong pada perkataan itu, atau karena kondisi gelisah dan
bosan, atau karena mabuk yang memaksa perkataan tersebut, atau karena kurang
mengawasi dan mengatur lidahnya, maka hukum orang tersebut harus dibunuh
tanpa pertimbangan, karena seseorang tidak dimaafkan dalam kekufuran
disebabkan kebodohan, atau alasan lidahnya terpereset, dan atau alasan lain yang
telah kami sebutkan, apabila orang tersebut jiwanya normal, kecuali orang
yang dipaksa (mengucapkan kata-kata kufur) sedangkan hatinya tenang dalam
keimanan. Dan dengan hukum ini, para ulama Andalusia berfatwa terhadap orang
yang menafikan kezuhudan dari Rasulullah r di
atas.” Apa yang disebutkan oleh al-Qadhi ‘Iyadh itu jelas dan sesuai dengan
kaedah-kaedah madzhab kami. Karena patokan dalam menghukumi kufur itu
melihat terhadap zhawahir (sesuatu yang tampak), tanpa melihat tujuan, niat dan
konteks yang mengitarinya.” (Al-I’lam bi-Qawathi’ al-Islam, hal. 382).
Dua ibarot di atas yang dikutip dari pernyataan
al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh dan al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami tersebut sangat tegas
dan gamblang, bahwa
pernyataan Djalal tersebut murtad dan kafir, sehingga para pembela Djalal tidak akan dapat membantahnya. Karena
demikian, vonis murtad dan kafir terhadap Djalal dengan pernyataan tersebut,
kalau kita pikir secara jernih, sebenarnya keputusan hukum para ulama yang otoritatif di kalangan para kiai, termasuk
kiai PKNU, yaitu al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Hajar al-Haitami dan al-Imam al-Sayyid Abdullah
bin Husain bin Thahir pengarang kitab Sullam al-Taufiq. Salah besar
kalau vonis kafir dan murtad terhadap Djalal dikatakan keluar dari LBM NU
Jember. LBM jelas tidak punya otoritas untuk memvonis seseorang. Vonis murtad
terhadap Djalal justru dikeluarkan oleh para ulama dan kitab-kitab yang otoritatif di
kalangan para kiai di seluruh Nusantara termasuk
kiai-kiai PKNU.
Kegelisahan Menerima Vonis Murtad
Orang-orang yang pro Djalal merasa gelisah dengan
keputusan bahtsul masail LBM NU Jember yang memvonis murtad dan kafir. Bahkan
sebagian mereka menganggap vonis tersebut terlalu berat buat Djalal yang terlanjur menjadi tumpuan harapan mereka di
masa depan. Sudah barang tentu, seseorang yang menerima vonis murtad atau kafir,
atau bahkan vonis yang lebih ringan sekalipun, akan merasa gelisah dan tidak
akan menerima dengan vonis itu. Ketika MUI Pusat mengeluarkan fatwa bahwa
aliran Ahmadiyah bukan termasuk aliran Islam, bahkan dianggap sebagai aliran di
luar Islam, kalangan Ahmadiyah sendiri mengeluarkan sikap protes yang sangat
keras atas fatwa tersebut dan mengatakan, “Sejak kapan MUI mendapat
rekomendasi dari Allah untuk memvonis murtad dan kafir terhadap komunitas tertentu?”. Apalagi Djalal, yang sebentar lagi akan mengikuti
Pemilukada, sebagai calon bupati yang diusung PKNU. Sudah barang tentu para pendukung Djalal yang selama ini telah ikut
mencicipi dan menikmati kue kekuasaan Djalal akan merasa gelisah dan khawatir calon mereka kalah dalam Pemilukada pada
bulan Juli yang akan datang. Kekalahan Djalal bagi mereka dianggap sebagai monster
yang menakutkan terhadap sumber kepentingan mereka. Allah I berfirman:
الشَّيْطَانُ
يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً
مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
[البقرة : 268]
“Syetan menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat
kejahatan, sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia.
Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah :
268).
Keputusan
Bermuatan Politis
Sebagian besar masyarakat yang membaca keputusan LBM
NU Jember dapat menerima dengan senang hati. Hal itu disamping karena keputusan
LBM memang sesuai dengan ajaran Islam yang telah diterapkan oleh para kiai
sejak ratusan tahun yang silam di Nusantara, juga karena keputusan tersebut memiliki dasar yang sangat
kuat dari al-Qur’an, Sunnah, ijma’
para ulama dan
logika yang sehat. Namun ada juga sebagian
masyarakat terutama pendukung berat Djalal dan simpatisan PKNU, yang menganggap
keputusan LBM NU sangat bermuatan politis, karena sebentar lagi Ketua
Tanfidziyah PCNU Jember, yaitu KH. Abdullah Syamsul Arifin akan maju dalam
pemilukada berpasangan dengan H. Guntur Ariadi. Tentu saja
anggapan orang-orang PKNU tersebut sah-sah saja. Tetapi anehnya, mengapa
orang-orang PKNU juga mengeluarkan bantahan terhadap keputusan LBM pada
saat-saat menjelang pemilukada? Apakah justru bantahan mereka yang sebenarnya
bersifat politis? Bukankah LBM merujuk kepada para ulama yang dianggap otoritatif di
kalangan para kiai termasuk para kiai PKNU? Sedangkan pembela Djalal justru
lari dari para ulama yang otoritatif. Dengan demikian, siapa sebenarnya yang
lebih politis? LBM atau PKNU? Kami kira pembaca dapat menjawabnya dengan hati
nurani.
Bersama Buku RDSK
Buku “RENUNGAN DARI SEBUAH KEGELISAHAN” atau
disingkat RDSK, adalah bantahan terhadap keputusan LBM NU Jember yang ditulis
oleh beberapa orang dengan nama KH. Nur Moh. Ihsan Iskandar, KH. Afton Ilman
Huda, HM. Farid Najmuddin, Abdul Muis M.Si, Abdul Latief M.Si dan M. Itqon
Syauqi S.Th.I. Telaah sekilas terhadap buku RDSK, akan menimbukan pertanyaan apakah
sengaja tim penulis tidak merujuk kepada kitab-kitab yang otoritatif di
kalangan kiai terrmasuk kiai-kiai PKNU. Buku ini selain tidak menanggapi argumen-argumen LBM NU sama sekali, juga
penuh dengan ketidakfahaman sehingga terjebak dalam berbagai kesalahan yang
sangat fatal. Berikut ini sebagian contoh
kesalahan fatal buku RDSK.
1). Pada halaman pertama, tim penulis buku RDSK
menulis begini,
“Keputusan (murtadnya Djalal) ini menjadi polemik di
masyarakat. Karena memurtadkan atau mengkafirkan seseorang membutuhkan
kehati-hatian agar tidak termasuk orang yang mengkafirkan sesama Muslim. Bahkan
Zainuddin Ibnu Najim menjelaskan bahwa Kafir adalah perkara besar, tidak boleh
bagi seseorang mengkafirkan orang lain selama masih ada pendapat lain yang
tidak mengkafirkan orang tersebut. (Zainuddin Ibnu Najim al-Hanafi, Bahrul
Alro’ik juz 5 hal. 134)”.
Kalau kita menyimak pernyataan di atas dengan
seksama, maka akan mengantarkan kita pada beberapa kesimpulan:
1.
Keputusan LBM tentang
murtadnya Djalal menjadi polemik (perdebatan) di kalangan masyarakat.
2.
LBM NU Jember terkesan
tidak berhati-hati dalam memutuskan murtadnya pernyataan Djalal tersebut.
3.
Pernyataan terakhir
buku tersebut memberikan kesan bahwa murtadnya orang yang mencaci maki
Rasulullah r masih
diperselisihkan di kalangan ulama berdasarkan perkataan Ibnu Najim dalam al-Bahru
al-Ra’iq.
Tentu saja tiga kesimpulan tersebut salah fatal dan keliru besar karena beberapa
alasan:
1.
Sebenarnya keputusan
LBM NU Jember tidak menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Justru yang
menjadi polemik di kalangan masyarakat adalah pernyataan Djalal yang dengan ketidakhati-hatiannya
mencaci maki Rasul r di
hadapan ribuan masyarakat Jember di Garahan Silo dengan melabelkan sifatnya
Iblis yang terlaknat (dengan diembel-embeli frasa se begus) kepada Rasul
r. Bahkan hal itu masih diulangi
sampai tiga kali dalam CD klarifikasi Djalal yang disebarkan para pendukungnya. LBM
hanya ingin menjelaskan hukum kemurtadan orang yang mencaci maki Rasul r seperti yang
dilakukan oleh Djalal itu kepada masyarakat agar tidak diikuti oleh mereka. Apa
jadinya jika umat Islam Jember ini meniru-niru perkataan Djalal itu. Bukankah telah kita kenal
pernyataan Sayyidina Umar bin al-Khathab t, “Annaasu
‘alaa diini muluukihim (masyarakat cenderung mengikuti gaya hidup penguasa
dalam hal beragama)”. Apa yang dikatakan oleh Sayyidina ‘Umar t ini ternyata menjadi
kenyataan, di mana kita dapati beberapa kiai yang menjadi pengagum berat
Djalal tersebut, terutama tim penulis buku RDSK, tidak menganggap mencaci maki
Rasulullah r
seperti dalam pernyataan Djalal sebagai sebuah kemurtadan. Na’udzu billah min dzaalik.
2.
Setahu kami LBM NU
Jember selalu berhati-hati dalam memutuskan setiap persoalan termasuk persoalan
pernyataan Djalal tersebut. Bahkan selama ini keputusan LBM NU Jember selalu menjadi
rujukan para kiai NU di seluruh Indonesia. Dan sebagai tambahan informasi,
kami mendengar bahwa buku keputusan LBM tentang
Djalal tersebut mendapat sambutan baik dari beberapa habaib di luar
Jember yang sangat mencintai Rasulullah r.
3.
Pernyataan Ibnu Najim
dalam al-Bahr al-Raiq tersebut tidak seperti yang dipahami oleh tim penulis
Buku RDSK. Ibnu Najim itu mengikuti madzhab Hanafi. Dan sebagaimana dimaklumi,
dari sekian madzhab empat yang ada, madzhab Hanafilah yang paling kreatif
menghimpun hal-hal yang dapat memurtadkan dalam kitab-kitab mereka, melebihi
madzhab fiqih yang lain. Hanya saja, sebagian dari hal-hal yang menyebabkan kemurtadan tersebut banyak
yang masih diperselisihkan di kalangan ulama, termasuk di kalangan internal
ulama madzhab Hanafi sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Najim, dengan mengutip dari
al-Fatawa al-Shughra, mengatakan, “Kafir adalah perkara besar, tidak
boleh bagi seseorang mengkafirkan orang lain selama masih ada riwayat lain yang
tidak mengkafirkan orang tersebut.” Sedangkan berkaitan dengan hukum kemurtadan
orang yang mencaci maki Rasulullah r, jelas
tidak ada perselisihan di kalangan ulama termasuk Ibnu Najim sendiri. Bahkan dalam
al-Bahr al-Raiq Ibn Najim ketika menjelaskan bahwa orang murtad itu
dapat diterima taubatnya, beliau berkata begini:
وَيُسْتَثْنَى منه مَسَائِلُ الْأُولَى الرِّدَّةُ بِسَبِّهِ
r قال في فَتْحِ الْقَدِيرِ كُلُّ من
أَبْغَضَ رَسُولَ اللهِ r بِقَلْبِهِ كان مُرْتَدًّا
فَالسَّابُّ بِطَرِيقِ أَوْلَى ثُمَّ يُقْتَلُ حَدًّا عِنْدَنَا فَلَا تُقْبَلُ
تَوْبَتُهُ في إسْقَاطِهِ الْقَتْلَ قالوا هذا مَذْهَبُ أَهْلِ الْكُوفَةِ
وَمَالِكٍ وَنُقِلَ عن أبي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ t وَلَا فَرْقَ بين أَنْ يَجِيءَ
تَائِبًا من نَفْسِهِ أو شُهِدَ عليه بِذَلِكَ بِخِلَافِ غَيْرِهِ من
الْمُكَفِّرَاتِ فإن الْإِنْكَارَ فيها تَوْبَةٌ فَلَا تَعْمَلُ الشَّهَادَةُ معه
حتى قالوا يُقْتَلُ وَإِنْ سَبَّ سَكْرَانُ وَلَا يُعْفَى عنه قال الْخَطَّابِيُّ
لَا أَعْلَمُ أَحَدًا خَالَفَ في وُجُوبِ قَتْلِهِ وَأَمَّا مِثْلُهُ في حَقِّهِ
تَعَالَى فَتُقْبَلُ تَوْبَتُهُ في إسْقَاطِ قَتْلِهِ اه (ابن نجيم، البحر الرائق 5/135-136).
“Orang yang murtad itu dapat
diterima taubatnya kecuali beberapa masalah. Pertama murtad sebab mencaci maki
Rasulullah r. Disebutkan dalam kitab Fathul Qadir, setiap orang
yang membenci Rasulullah r dengan hatinya adalah murtad. Oleh karena itu,
orang yang mencaci maki beliau jelas lebih murtad, dan orang tersebut harus
diekskusi menurut kami sebagai hukuman, sehingga taubatnya tidak dapat diterima
dalam menggugurkan hukuman ekskusi. Mereka berkata, bahwa ini adalah pendapat ulama Kufah, Imam
Malik dan dikutip dari Sayidina Abu Bakar al-Shiddiq. Tidak ada bedanya apakah
dia (orang yang mencaci maki Rasulullah r tersebut) datang dengan kesadarannya karena
bertaubat atau disaksikan oleh orang lain. Hal ini berbeda dengan murtad sebab
hal-hal selain mencaci maki Nabi r. Pengingkaran dalam selain mencaci maki Nabi r dianggap sebagai taubat, sehingga kesaksian orang lain bisa gugur
sebab pengingkaran itu. Bahkan para ulama berkata, orang yang mencaci maki Nabi
r harus diekskusi meskipun ia mengucapkan dalam keadaan mabuk dan ia tidak boleh
dimaafkan. Imam al-Khaththabi berkata: “Aku tidak menemukan ulama yang
menentang dalam wajibnya membunuh orang yang mencaci maki Nabi r. Adapun mencaci maki Allah, maka taubatnya dapat diterima dalam hal
menggugurkan hukuman ekskusi.” (Ibnu Najim, al-Bahr al-Raiq, juz 5 hal.
135-136).
Pernyataan Ibnu Najim di atas
memberikan beberapa kesimpulan. Pertama, taubatnya orang murtad dapat
diterima. Kedua, ada beberapa kasus dimana taubatnya orang murtad tidak
dapat diterima, di antaranya adalah murtad sebab mencaci maki Rasulullah r. Ketiga, orang yang
mencaci maki Rasulullah r harus dibunuh meskipun
telah bertaubat. Keempat, orang yang dilaporkan murtad (kepada hakim),
kemudian orang tersebut mengingkari dan mengatakan dirinya tidak murtad,
dianggap telah bertaubat dari kemurtadannya. Kelima, hal ini berbeda
dengan orang yang dilaporkan murtad (kepada hakim) sebab mencaci maki
Rasulullah r, maka pengingkarannya
tidak dapat menjadi bukti taubatnya. Keenam, orang yang murtad dalam
keadaan mabuk, tidak dapat dihukumi murtad, karena akalnya hilang, kecuali
murtad sebab mencaci maki Rasulullah r, maka alasan mabuk tidak
dapat diterima, dan ia harus divonis eksekusi serta tidak diampuni. Ketujuh,
keharusan menghukum orang murtad sebab mencaci maki Rasulullah r adalah kesepakatan ulama yang
tidak mungkin ditentang oleh Ibn Najim.
Dengan membaca pernyataan Ibnu
Najim di atas yang tidak dikutip tim penulis RDSK, dapat disimpulkan bahwa tim
penulis buku RDSK tidak membaca dengan tuntas kitab Ibnu Najim tersebut karena
kepentingan politis. Karena apabila ibarot Ibnu
Najim dipakai, justru akan lebih memberatkan terhadap Djalal daripada keputusan
LBM NU Jember.
2) Pada halaman 3 dan 4 tim penulis buku RDSK,
mengutip ibarot dari kitab al-Fiqh al-Wadhih dan Tafsir al-Fakhrur
Razi, untuk menyimpulkan bahwa Djalal tidak murtad. Padahal ibarot dari al-Fiqh
al-Wadhih itu justru mendukung pemurtadan Djalal kalau dipahami dengan
benar. Ibarot yang dikutip oleh tim tersebut berbunyi begini,
“Murtad adalah keluarnya seorang Muslim yang berakal
dan baligh dari agamanya dengan kehendaknya tanpa paksaan dari siapapun.
(Muhammad Bakar Ismail, al-Fiqh al-Wadhih juz 2 hal. 271).
Tentu saja ibarot di atas jelas memurtadkan Djalal.
Karena MZA. Djalal telah mencaci maki Rasulullah r dengan mengatakan “Nabi Muhammad itu sombong”. Dan jelas sekali bahwa
Djalal mengatakannya dengan kehendaknya sendiri dan tanpa paksaan dari
siapapun. Para ulama telah bersepakat bahwa mencaci maki Rasulullah r jelas hukumnya murtad dan kafir. Dengan demikian ibarot tersebut
menyimpulkan bahwa Djalal itu murtad dan kafir. Sedangkan ibarot dari Tafsir
al-Fakhrur Razi tersebut dimaksudkan pada kafir asli. Dan agaknya ini tidak dipahami oleh tim penulis.
3). Pada halaman 6 dan 7 tim penulis buku RDSK,
mengutip dari kitab Tanwir al-Qulub, yang berbunyi:
“……….. Pada kesimpulannya dari seluruh redaksi,
bahwa kafir I’tiqad, fi’li atau qauli ada harus ada unsur menghina atau
meremehkan disertai qashdu (kesengajaan) jika tidak maka tidak dihukumi kufur.”
(Tanwirul Qulub hal. 394).
Ternyata setelah diteliti kutipan dari Tanwir
al-Qulub tidak berkaitan dengan hukum mencaci maki Rasulullah r, akan tetapi persoalan murtad
dalam hal lainnya. Tim penulis tersebut mengutip persoalan mukaffiraat
selain mencaci maki Rasulullah r, yang hukumnya memang disyaratkan ada unsur
menghina, meremehkan dan kesengajaan. Adapun berkaitan dengan mencaci maki Rasulullah r, maka alasan mabuk, keseleo lidah, tidak tahu hukumnya, jelas tidak diterima sebagai alasan untuk menolak
vonis murtad sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam ibarot di atas. Bahkan
Ibnu Najim) mengatakan dalam al-Asybah wa al-Nazhair berikut ini:
لاَ تَصِحُّ رِدَّةُ السَّكْرَانِ إِلاَّ الرِّدَّةَ
بِسَبِّ النَّبِيِّ r فَإِنَّهُ يُقْتَلُ وَلاَ يُعْفَى عَنْهُ كَذَا فِي الْبَزَّازِيَّةِ.
كُلُّ كَافِرٍ تَابَ فَتَوْبَتُهُ مَقْبُوْلَةٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ
جَمَاعَةً : الْكَافِرُ بِسَبِّ نَبِيٍّ وَبِسَبِّ الشَّيْخَيْنِ. (ابن نجيم، الأشباه والنظائر 215).
“Tidak sah menghukumi murtad terhadap orang yang
sedang mabuk, kecuali murtad sebab mencaci maki Rasulullah r, maka ia harus diekskusi dan
tidak dapat dimaafkan sebagaimana dalam al-Bazzaziyyah. Setiap orang kafir yang
bertaubat, maka taubatnya dapat diterima di dunia dan akhirat kecuali beberapa
orang; yaitu orang yang murtad karena mencaci maki seorang nabi dan mencaci
maki Sayidina Abu Bakar dan Umar.” (Ibnu Najim, al-Asybah wa al-Nazhair, hal.
215).
Dari
pernyataan Ibn Najim tersebut, kita bertanya, jika orang yang sedang mabuk
dihukumi murtad karena mencaci maki Nabi r, padahal
akalnya tidak terkontrol, lalu bagaimana dengan Djalal yang menyampaikan
pernyataannya dengan sadar? Kami kira pembaca dapat menjawabnya dengan pikiran
yang jernih dan obyektif.
4). Pada halaman 8
dan 9, tim penulis buku RDSK, mengutip dari Imam Ibnu
Abidin al-Dimasyqi dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar, tetapi tim penulis buku RDSK tersebut agaknya tidak dapat memahami ibarot Ibnu Abidin dengan benar. Seharusnya tim
tersebut mengutip pernyataan Ibnu Abidin berikut ini:
وَكُلُّ مُسْلِمٍ اِرْتَدَّ فَتَوْبَتُهُ مَقْبُوْلَةٌ
إِلاَّ الْكَافِرَ بِسَبِّ نَبِيٍّ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ فَإِنَّهُ يُقْتَلُ حَدًّا
وَلاَ تُقْبَلُ تَوْبَتُهُ مُطْلَقًا، وِلَوْ سَبَّ اللهَ تَعَالَى قُبِلَتْ
لأَنَّهُ حَقُّ اللهِ تَعَالَى وَاْلأَوَّلُ حَقُّ عَبْدٍ لاَ يَزُوْلُ
بِالتَّوْبَةِ، وَمَنْ شَكَّ فِيْ عَذَابِهِ وَكُفْرِهِ كَفَرَ اهـ ( ابن عابدين، حاشية رد المحتار /370).
“Setiap
orang Muslim yang murtad maka taubatnya diterima kecuali kekafiran (kemurtadan)
sebab menistakan seorang nabi, maka ia harus dibunuh sebagai sanksi dan
taubatnya tidak diterima secara mutlak. Seandainya ia menistakan Allah I, maka
taubatnya dapat diterima karena hal ini berkaitan dengan hak Allah. Sedangkan
yang sebelumnya (menistakan nabi) berkaitan dengan hak seseorang yang tidak
bisa hilang dengan taubat. Barangsiapa yang meragukan azab dan kekafiran orang
yang menistakan nabi, maka dia sendiri yang kafir.” (Ibn ‘Abidin al-Dimasyqi,
Hasyiyah Raddul Muhtar, juz 6 hal. 370).
Pernyataan al-Imam Ibnu
Abidin tersebut menyimpulkan bahwa orang yang mencaci maki Nabi r tidak dapat diterima taubatnya. Bahkan orang
yang meragukan azab dan kekafiran orang yang menistakan Nabi r menjadi kafir sendiri. Coba
direnungkan ibarat Ibnu Abidin وَمَنْ شَكَّ فِيْ عَذَابِهِ
وَكُفْرِهِ كَفَرَ (Barangsiapa yang meragukan azab dan kekafiran orang
yang menistakan nabi, maka dia sendiri yang kafir). Kira-kira bagaimana jika
pernyataan Ibn Abidin tersebut diterapkan terhadap Djalal dan pembelanya? Kami
kira pembaca dapat menjawabnya dengan pikiran yang jernih.
Dalam kitab yang
lain,
yaitu kitab Tanbih al-Wulat wa al-Hukkam, al-Imam Ibnu ‘Abidin al-Dimasyqi
berkata
begini:
قَالَ الْخَطَّابِيُّ،
لاَ أَعْلَمُ اَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ اِخْتَلَفَ فِيْ وُجُوْبِ قَتْلِ سَابِّ
النَّبِيِّ r اِذَا كَانَ مُسْلِمًا، وَقَالَ سَحْنُوْنُ
الْمَالِكِيُّ اَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ اَنَّ شَاتِمَهُ كَافِرٌ وَحُكْمُهُ الْقَتْلُ
وَمَنْ شَكَّ فِيْ عَذَابِهِ وَكُفْرِهِ كَفَرَ. (رسائل ابن عابدين 1/327).
“Imam al-Khaththabi berkata, “Aku tidak mengetahui seorang pun
ulama yang menyangsikan wajibnya membunuh penista Nabi r
apabila dia seorang Muslim”. Imam Sahnun al-Maliki berkata, “Semua ulama telah
bersepakat bahwa orang yang menistakan Nabi r
itu kafir dan hukumnya harus diekskusi. Barangsiapa yang meragukan azab dan
kekafirannya, maka dia sendiri yang kafir.” (Ibn ‘Abidin, Rasail Ibn ‘Abidin,
juz 1 hal. 327).
Pernyataan Imam Sahnun al-Maliki di atas yang dikutip
oleh Imam Ibnu ‘Abidin al-Hanafi tersebut sangat berat. Di mana orang yang mencaci
maki Rasulullah r disepakati kemurtadannya
oleh semua ulama. Bahkan orang yang meragukan azab dan kekafirannya, justru
menjadi kafir sendiri. Dengan demikian, kita bertanya-tanya
bagaimana status hukum Djalal dengan pernyataanya yang mencaci-maki Nabi r dan
orang-orang yang membelanya berdasarkan kutipan Ibnu ‘Abidin tersebut. Coba
dipikirkan!
Madzhab Asya’irah Dan
Mengkafirkan Orang Lain
Bantahan
lain terhadap keputusan LBM NU Jember juga datang dari salah satu tim penulis buku
RDSK,
yaitu dari saudara Itqon Syauqi dengan makalahnya setebal 13 halaman, dan
mengatasnamakan pengurus MWC NU Kalisat. Kami sangat menyayangkan saudara
Itqon yang menjadi pengurus
MWC NU tidak merujuk kepada kitab-kitab yang otoritatif di kalangan NU. Ada
apa sebenarnya? Bahkan saudara Itqon merujuk terhadap Khaled Abou el-Fadhl
tokoh Liberal di Amerika yang mustahil pandangannya diterima di kalangan nahdliyyin. Di
antara alasan keberatan Itqon atas keputusan LBM adalah pernyataannya, bahwa
Asy’ariyah tidak mudah menjatuhkan vonis kafir dan syirik terhadap orang yang
berbeda ideologi.
Agaknya alasan tersebut berangkat
dari ketidakmengertian Itqon terhadap maksud sikap ulama Asy’ariyah di atas.
Maksud pernyataan ulama, tidak mudah mengkafirkan orang-orang yang berbeda,
adalah bahwa para ulama kita tidak mengkafirkan aliran-aliran di luar
Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang berbeda dalam hal akidah selama mereka tidak
menafikan adanya Allah I, tidak terjangkit syirik
yang terang yang tidak bisa dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari ajaran
agama yang dharuri,
mengingkari khabar mutawatir yang disepakati secara pasti di kalangan
umat, sebagaimana ditulis oleh al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki
dalam kitabnya Mafahim Yajibu an Tushahhah di bagian awal. Hal
tersebut bukan berarti menafikan hukum murtad dan kafir terhadap orang-orang
yang melakukan kemurtadan dan kekafiran. Karena sebagaimana dimaklumi, para
ulama yang menjadi acuan umat Islam dalam hukum murtad dan kafir seperti
al-Imam al-Qadhi Iyadh, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan pengarang Sullam
al-Taufiq,
semuanya bermadzhab Asy’ariyah. Di samping itu, semua fuqaha
yang mengikuti madzhab Asy’ariyah telah mencantumkan bab khusus tentang
kemurtadan dalam kitab-kitab fiqih yang mereka tulis. Menurut hemat kami, mereka lebih mengerti dan memahami terhadap
madzhab al-Asy’ari daripada saudara Itqon Syauqi. Dalam kitab Sullam
al-Taufiq yang
dikarang oleh Sayyid Abdullah bin Husain yang mengikuti madzhab al-Asy’ari, disebutkan:
فَصْلٌ يَجِبُ
عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ حِفْظُ إِسْلاَمِهِ وَصَوْنُهُ عَمَّا يُفْسِدُهُ
وَيُبْطِلُهُ وَيَقْطَعُهُ وَهُوَ الرِّدَّةُ وَالْعِيَاذُ بِاللهِ تَعَالَى
وَقَدْ كَثُرَ فِيْ هَذَا الزَّمَانِ التَّسَاهُلُ فِي الْكَلاَمِ حَتَّى أَنَّهُ
يَخْرُجُ مِنْ بَعْضِهِمْ أَلْفَاٌظ تُخْرِجُهُمْ عَنِ اْلإِسْلاَمِ وَلاَ
يَرَوْنَ ذَلِكَ ذَنْبًا فَضْلاً عَنْ كَوْنِهِ كُفْرًا. (سلم التوفيق).
“Fasal. Setiap Muslim wajib mejaga dan memelihara keislamannya
dari sesuatu yang merusak, membatalkan dan memutus keislamannya itu, yaitu
kemurtadan. Semoga Allah I
melindungi kita darinya. Pada masa sekarang (masa pengarang Sullam al-Taufiq)
sering terjadi sembarangan dalam berbicara, bahkan dari sebagian mereka keluar
kalimat-kalimat yang mengeluarkan mereka dari Islam. Anehnya mereka tidak
merasa berdosa apalagi merasa kufur dengan perkataan itu.” (Sullam al-Taufiq,
lihat, Is’ad al-Rafiq juz 1 hal. 49-50).
Apa yang dikatakan oleh pengarang
Sullam al-Taufiq yang bermadzhab Asy’ari tersebut, bahwa
kemurtadan itu mengeluarkan seseorang dari Islam adalah sesuatu yang serius dan
sungguh-sungguh, bukan sekedar menakut-nakuti. Di samping itu, apabila pada
masa pengarang Sullam al-Taufiq yang lahir pada tahun 1191 H dan wafat tahun
1272 H, telah banyak terjadi kemurtadan tanpa sadar, lalu mengapa sebagian kiai
pendukung Djalal menyangsikan kemurtadan pernyataan Djalal? Bukankah mereka
telah pernah mempelajari dan bahkan mengajarkan kitab Sullam
al-Taufiq? Al-Imam
Ibnu Najim al-Hanafi (yang menjadi acuan tim penulis RDSK dan Itqon dalam membela
pernyataan
Djalal) mengatakan dalam al-Bahr al-Raiq berikut ini:
أَنَّ أَلْفَاظَ التَّكْفِيرِ
الْمَعْرُوفَةَ في الْفَتَاوَى مُوجِبَةٌ لِلرِّدَّةِ عن الْإِسْلَامِ حَقِيقَةً. (ابن نجيم،
البحر الرائق، 5/129).
“Sesungguhnya kata-kata yang menjerumuskan pada kekafiran yang
telah dikenal dalam fatwa-fatwa para ulama itu mengeluarkan seseorang dari
Islam secara sungguh-sungguh (bukan sekedar main-main atau menakut-nakuti).”
(Ibn Najim, al-Bahr al-Raiq, 5/129).
Pernyataan Ibnu Najim tersebut memberikan kesimpulan,
bahwa semua ulama yang memurtadkan penista Rasulullah r seperti dalam pernyataan Djalal itu sangat
serius.
Demikian pula semua ulama yang telah mengkafirkan orang-orang yang tidak
mengkafirkan penista Rasulullah r seperti tim penulis RDSK
juga serius bukan sekedar main-main dan menakut-nakuti. Na’uudzu
billaahi min dzaalik. Persoalan
seperti ini sebenarnya yang harus dikaji dan disebarkan oleh saudara Itqon sebagai
kader NU dan
tim penulis buku RDSK sebagai kader PKNU sehingga tidak mudah
terjerumus dalam kekafiran tanpa sadar. Al-Imam al-Sayyid
Abdullah bin Husain bin Thahir menyebutkan dalam kitabnya Sullam
al-Taufiq pernyataan berikut
ini:
مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الشَّرَّ يَقَعُ فِيْهِ. (سلم التوفيق).
“Barangsiapa
yang tidak mengetahui keburukan maka akan terjerumus ke dalamnya (tanpa
sadar).” (Sullam al-Taufiq).
Demikian argumentasi
keliru saudara Itqon yang kami rasa perlu untuk ditanggapi. Sedangkan
alasan-alasan lain yang diajukan Itqon hanya menunjukkan bahwa dia
hanya bermaksud membela orang yang sangat dikagumi dan dimuliakannya, yaitu
Bupati Djalal, kami
merasa tidak perlu menanggapinya.
Menyebarkan Aib Orang Lain
Ada juga sebagian saudara kita, kaum Muslimin di Jember,
menerima 100 % hasil keputusan LBM NU Jember tentang vonis murtad terhadap
pernyataan Djalal. Namun mereka menyangsikan penyebaran buku keputusan tersebut.
Menurut mereka, apakah penyebaran buku keputusan tersebut tidak termasuk
penyebaran aib seseorang?
Menurut hemat kami, penyebaran hasil keputusan LBM tersebut tidak perlu
disangsikan, karena menyebarkan aib orang lain tidak selamanya haram. Bahkan
ada yang boleh dan ada yang wajib. Dalam hal ini al-Imam al-Nawawi berkata dalam
kitabnya Riyadh al-Shalihin sebagai berikut:
بَابُ مَا
يُبَاحُ مِنَ الْغِيْبَةِ اعْلَمْ أنَّ الغِيبَةَ تُبَاحُ لِغَرَضٍ صَحيحٍ
شَرْعِيٍّ لا يُمْكِنُ الوُصُولُ إِلَيْهِ إِلاَّ بِهَا ، وَهُوَ سِتَّةُ أسْبَابٍ:
... وَمِنها: أنْ يكونَ لَهُ وِلايَةٌ لا يقومُ بِهَا عَلَى وَجْهِها: إمَّا بِأنْ
لا يكونَ صَالِحاً لَهَا، وإما بِأنْ يكونَ فَاسِقاً، أَوْ مُغَفَّلاً، وَنَحوَ
ذَلِكَ فَيَجِبُ ذِكْرُ ذَلِكَ لِمَنْ لَهُ عَلَيْهِ ولايةٌ عامَّةٌ لِيُزيلَهُ،
وَيُوَلِّيَ مَنْ يَصْلُحُ، الخامِسُ: أنْ يَكُونَ مُجَاهِراً بِفِسْقِهِ أَوْ
بِدْعَتِهِ كالمُجَاهِرِ بِشُرْبِ الخَمْرِ، ومُصَادَرَةِ النَّاسِ، وأَخْذِ
المَكْسِ، وجِبَايَةِ الأمْوَالِ ظُلْماً، وَتَوَلِّي الأمُورِ الباطِلَةِ،
فَيَجُوزُ ذِكْرُهُ بِمَا يُجَاهِرُ بِهِ، وَيَحْرُمُ ذِكْرُهُ بِغَيْرِهِ مِنَ
العُيُوبِ، إِلاَّ أنْ يكونَ لِجَوازِهِ سَبَبٌ آخَرُ مِمَّا ذَكَرْنَاهُ . (الإمام النووي، رياض الصالحين، ص/579-581).
“Bab
menerangkan ghibah yang diperbolehkan. Ketahuilah sesungguhnya ghibah itu
diperbolehkan karena ada tujuan yang benar menurut syara’, yaitu karena enam
sebab… Di antaranya orang yang di-ghibah itu memiliki kekuasaan yang tidak
berjalan sesuai dengan asas keadilan dan kepentingan rakyat, seperti penguasa
yang tidak layak memimpin, atau penguasa yang fasiq, melalaikan tugasnya dan
yang sesamanya, maka hukumnya wajib menyampaikan hal tersebut kepada orang yang
dapat memberhentikan penguasa tersebut dan menggantikannya dengan penguasa yang
layak. Kelima, orang yang boleh dighibah adalah orang yang terang-terangan
melakukan kefasikan atau melakukan bid’ah, seperti orang yang terang-terangan
meminum khamr, menyiksa orang lain, mengambil retribusi, mengambil harta orang
secara zalim dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang salah, maka boleh
menyebarkan kefasikan yang dilakukan terang-terangan tersebut, dan tidak boleh
menyebutkan aib-aib lainnya, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.” (Imam
al-Nawawi, Riyadh al-Shalihin, hal. 579-581).
Kewajiban Setiap Muslim
Al-Imam
al-Sayyid Abdullah bin Husain bin Thahir Ba ‘Alwi al-Husaini menjelaskan dalam
kitabnya Sullam al-Taufiq. Bahwa setiap Muslim wajib menjaga dan melindungi
keislaman masing-masing dari penyakit yang dapat merusak, membatalkan dan
memutus keislaman tersebut, penyakit tersebut namanya murtad. Semoga Allah I melindungi kita semua dari
segala bentuk
kemurtadan. Menurut beliau, pada masa sekarang (masa beliau) sering terjadi sembarangan dalam berbicara, bahkan
dari sebagian mereka keluar kalimat-kalimat yang mengeluarkan mereka dari
Islam. Anehnya mereka tidak merasa berdosa apalagi merasa kufur
dengan perkataan itu. (Dewasa
ini, perkataan dosa dan kufur bukan hanya tidak disadari oleh pelakunya. Bahkan
orang lain yang mendengarnya banyak yang tidak menganggapnya dosa dan kufur).
Dalam
rangka menjelaskan kalimat-kalimat yang dapat menjerumuskan seseorang pada
lumpur kekufuran dan kemurtadan, para ulama telah menulis sekian banyak kitab,
di antaranya adalah kitab Sullam al-Taufiq. Kitab lain yang sangat baik
untuk dikaji dan direkomendasi oleh Sullam al-Taufiq untuk dikaji adalah
kitab al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa karya monumental al-Imam
al-Qadhi ‘Iyadh dan kitab al-I’lam bi-Qawathi’i al-Islam karya al-Imam
Ibnu Hajar al-Haitami. Dalam kedua kitab tersebut diuraikan secara rinci
berbagai hal yang dapat menjerumuskan seseorang ke jurang kemurtadan.
Ada
satu persoalan yang dianggap paling serius oleh para ulama dalam masalah
kemurtadan, yaitu kemurtadan sebab mencaci maki Rasulullah r. Karena seriusnya persoalan ini, banyak ulama menulis
kitab khusus, di antaranya adalah al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Sahnun
al-Qairawani menulis kitab Risalah fi man Sabba al-Nabi r, al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh menulis kitab al-Syifa, al-Imam
Ibn Taimiyah al-Harrani menulis kitab al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim
al-Rasul r, al-Imam al-Mujtahid Taqiyyuddin al-Subki menulis
kitab al-Saif al-Maslul ‘ala man Sabba al-Rasul r, al-Imam Muhammad bin Qasim al-Rumi menulis kitab al-Saif
al-Masyhur ‘ala al-Zindiq wa Sabb al-Rasul r, al-Imam al-Suyuthi menulis Tanzih al-Anbiya’ ‘an
Tasfih al-Aghbiya’, al-Imam Ibnu Kamal Basya menulis al-Saif al-Maslul
fi Sabb al-Rasul r, al-Imam Ibnu Thulun al-Hanafi menulis kitab Rasyq
al-Siham fi Adhla’ man Sabba al-Nabiy ‘Alayhi al-Salam, dan terakhir
al-Imam Ibnu ‘Abidin menulis kitab Tanbih al-Wulat wa al-Hukkam. Ini
semua menunjukkan bahwa persoalan mencaci maki Rasulullah r dianggap sangat serius oleh ulama kita, karena
hukum-hukumnya memang cukup rumit dan multi kompleks.
Kewajiban
Orang Murtad
Al-Imam Abdullah bin Husain bin Thahir menjelaskan dalam kitabnya Sullam
al-Taufiq tentang kewajiban orang-orang yang murtad. Pertama,
kembali kepada Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Kedua,
mencabut dan menghentikan perbuatan dan ucapan yang menyebabkannya murtad. Ketiga,
merasa menyesal dengan apa yang telah diperbuatnya. Keempat, bermaksud
tidak akan kembali lagi melakukan hal-hal yang menyebabkannya murtad. Kelima,
mengqadha’i kewajiban-kewajiban agama yang ditinggalkannya ketika ia masih murtad. Wallaahu a’lam.
Terakhir, kami Tim Kopi Manis mengharap agar tim penulis RDSK membaca buku
keputusan LBM dan buku ini sampai tuntas dengan pikiran yang jernih. Kalau
belum bisa menerima, dan masih menganggap bahwa melabelkan sifatnya Iblis yang
terlaknat kepada Rasulullah r tidak murtad, kami Tim Kopi Manis menunggu kesediaan Gus Afton,
Gus Muis dkk untuk berdialog dengan kami di forum ilmiah STAIN Jember, dengan
argumen kitab-kitab yang otoritatif (mu’tabaroh). Kami sangat menunggu.
Tolong kalau sudah siap segera hubungi kami! Wallaahul muwaffiq ilaa aqwamiththariiq.
B
Daftar
Pustaka :
- Al-Hamawi, Ahmad bin Muhammad
al-Hanafi, Ghamz ‘Uyun al-Bashair Syarh al-Asybah wa al-Nazhair,
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1985.
- Al-Khafaji, Syihabuddin Ahmad bin Muhammad, Nasim al-Riyadh fi
Syarh Syifa’ al-Qadhi ‘Iyadh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2001.
- Al-Kurdi, Muhammad Amin
al-Irbili, Tanwir al-Qulub fi Mu’amah ‘Allam al-Ghuyub, al-Hidayah,
Surabaya, tt.
- Al-Maliki, al-Sayyid Muhammad
bin Alwi, Mafahim Yajibu an Tushahhah, tp, tk, cet. 10, 1995.
- Al-Nawawi, al-Imam Abu Zakariya
Yahya bin Syaraf, Riyadh al-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin,
Toko Kitab al-Hidayah, Surabaya, tanpa tahun.
- Al-Subki, Taqiyyuddin Abu
al-Hasan Ali bin Abdulkafi, al-Saif al-Maslul ‘ala man Sabba al-Rasul r, tahqiq Iyad Ahmad
al-Ghauj, Dar al-Fath, Amman, 2000.
- Al-Yahshubi, al-Qadhi Abu
al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa, al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa,
Hasyiyah Ahmad bin Muhammad al-Syumunni, Muzil al-Khafa ‘an Alfazh
al-Syifa, Dar El-Fikr, Beirut, 1988.
- Ba Bushail, Muhammad bin Salim
bin Sa’id al-Syafi’i, Is’ad al-Rafiq wa Bughyah al-Shadiq Syarh Sullam
al-Taufiq, al-Hidayah, Surabaya, tanpa tahun.
- Ibn ‘Abidin, Muhammad Amin Afandi al-Dimasyqi, Hasyiyah Radd
al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, Dar El-Fikr,
Beirut, 2000.
- Ibn ‘Abidin, Majmu’ah
Rasail Ibn ‘Abidin, Dar Shadir, Beirut, tt.
- Ibn Hajar, Syihabuddin Abu
al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Haitami, al-I’lam bi-Qawathi’
al-Islam, al-Halabi, Kairo, tanpa tahun.
- Ibn Najim, Zainuddin Muhammad
al-Hanafi, al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz al-Daqaiq, Dar al-Ma’rifah,
Beirut, tanpa tahun.
13.
Nawawi al-Jawi, Muhammad
bin Umar al-Bantani, Mirqat Shu’ud al-Tashdiq fi Syarh Sullam al-Taufiq,
Usaha Keluarga, Semarang, tanpa tahun.