(Mencoba memahami dan menalar
sifat 20) kajian tauhid
Pendahululuan
Islam sebagai Agama yang besar mempunyai landasan agama
yang kuat, mulai dari system aqidah, syari’ah serta akhlaq.
Sebagai sebuah Agama landasan-landasan penting sebagai titik dasar dari
penghambaan adalah dalam wilayah ibadah.
Di lain itu, wilayah Ibadah juga tidak bisa eksis jika
tidak didukung akara yang kuat yaitu berupa tauhid. Ajaran tauhid adalah ajaran
uang pertama sekali di tetrapkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada
para pengikutnya, kita tidak asing dengan cerita sahabat Bilal bin Rabbah,
ketika dia diketahui masuk Islam oleh juragannya, yaitu disiksa dengan sangat
pedih oleh tuanya tersebut yaitu muawiyyah.
Atau keluarga yasir, yang dihukum sehingga dari satu
keluarga hanya anknya saja yang selamat dari penyiksaan demi penyiksaan yang
dilakukan oleh kaum musrikin mekkah.
Gamabaran
diatas menunjukkan betapa Agama kita dianut begitu kuat karena dilandasi oleh
konsep tauhid yang kokoh,
sehingga
ketika digoyang oleh ajaran agama lain kita, berhasil melawan serta
mempertahankan ajaran kita, itu ketika zaman Nabi
Dalam konteks masa kini, pemikiran berkembang lebih cepat
dari perkiraan manusia, serta kelompok--kelompok islam yang berkembang bagaikan
jamur yang tumbuh setelah musim hujan, terjadi banyak sekali
pemahaman-pemahaman baru dari konsep teologis. Yang sebenarnya setiap konsep
teologis sudah dikembangkan oleh para ulama dan tidak menyali nass Qur’an dan
Hadis.
Tetapi
di sisi lain bayak pemahaman baru yang
menurut penulis perlu di tangkal, sehingga dalam edisi kali ini penulis mencoba
menjelaskan pemahaman tentang konsep tauhid ada 20, ini menjadi penting karena
konsep ini dalam dunia modern sekang ini sering di bantah bahkan dianggap
keluar dati tauhid maaf bahasa kasrnya adalah “kafir”. Tulisan ini ber upaya
ketika kita mendapat caunter dri pihak yang sepaham kita bisa menjawab dan
mepertahankan system tauhid yang diajarkan kepada kita yang berumber dari para
Ulama.
Memahami Konsep Sifat Dua Puluh
Dalam madzhab Ahlussunnah
Wal-Jama'ah ada konsep sifat dua puluh yang wajib bagi Allah. Konsep ini sangat populer dan harus diketahui oleh setiap
orang Muslim. Dari sini muncul sebuah pertanyaan, mengapa sifat yang wajib bagi
Allah yang harus diketahui itu hanya dua puluh saja, bukan sembilan puluh
sembilan sebagaimana yang terdapat dalam al-Asma' al-Husna?
Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah
dalam menetapkan sifat dua puluh tersebut sebenarnya berangkat dari kajian dan
penelitian yang mendalam. Ada beberapa alasan ilmiah dan logis yang dikemukakan
oleh para ulama tentang latar belakang wajibnya mengetahui sifat dua puluh yang
wajib bagi Allah, antara lain:
Pertama, setiap orang yang beriman harus meyakini bahwa Allah SWT wajib memiliki
semua sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya. Ia harus meyakini bahwa
Allah mustahil memiliki sifat kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya.
Ia harus meyakini pula bahwa Allah boleh melakukan atau meninggalkan segala
sesuatu yang bersifat
mungkin
seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan dan lain-lain. Demikian ini adalah
keyakinan formal yang harus dimiliki oleh setiap orang yang beriman.
Kedua, para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah sebenarnya tidak membatasi sifat-sifat
kesempurnaan Allah dalam dua puluh sifat. Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang
layak bagi keagungan Allah, sudah barang tentu Allah wajib memiliki sifat
tersebut, sehingga sifat-sifat Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada
sembilan puluh sembilan saja sebagaimana dikatakan al-Imam al-Hafizh
al-Baihaqi:
وَقَوْلُهُ J:
« إِنَّ للهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا » لاَ يَنْفِيْ غَيْرَهَا ، وَإِنَّمَا
أَرَادَ وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّ مَنْ أَحْصَى مِنْ أَسْماَءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تِسْعَةً
وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
Sabda Nabi J: "Sesungguhnya Allah
memiliki sembilan puluh sembilan Nama", tidak menafikan nama-nama
selainnya. Nabi J hanya bermaksud –wallahu
a'lam-, bahwa barangsiapa yang memenuhi pesan-pesan sembilan puluh sembilan
nama tersebut akan dijamin masuk surga.
Ketiga, para ulama membagi sifat-sifat khabariyyah,
yaitu sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadits seperti yang
terdapat dalam al-Asma' al-Husna, terbagi menjadi dua. Pertama, Shifat
al-Dzat, yaitu sifat-sifat yang ada pada Dzat Allah SWT, yang antara lain
adalah sifat dua puluh. Dan kedua, Shifat al-Af'al, yaitu sifat-sifat
yang sebenarnya adalah perbuatan Allah SWT, seperti sifat al-Razzaq,
al-Mu'thi, al-Mani', al-Muhyi, al-Mumit, al-Khaliq dan lain-lain. Perbedaan
antara keduanya, Shifat al-Dzat merupakan sifat-sifat yang menjadi Syarth
al-Uluhiyyah, yaitu syarat mutlak ketuhanan Allah, sehingga ketika Shifat
al-Dzat itu wajib bagi Allah, maka kebalikan dari sifat tersebut adalah
mustahil bagi Allah. Dari sini para ulama menetapkan bahwa Shifat al-Dzat
ini bersifat azal (tidak ada permulaan) dan baqa' (tidak
berakhiran) bagi Allah. Hal tersebut berbeda dengan Shifat al-Af'al.
Ketika Allah memiliki salah satu di antara Shifat al-Af'al, maka
kebalikan dari sifat tersebut tidak mustahil bagi Allah, seperti sifat al-Muhyi
(Maha Menghidupkan) dan al-Mumit (Maha Mematikan), al-Dhar (Maha
Memberi Bahaya) dan al-Nafi' (Maha Memberi Manfaat), al-Mu'thi
(Maha Pemberi) dan al-Mani' (Maha Pencegah) dan lain-lain. Di samping
itu para ulama mengatakan bahwa Shifat al-Af'al itu baqa' (tidak
berakhiran) bagi Allah, namun tidak azal (ada permulaan).
Keempat, dari sekian banyak Shifat al-Dzat yang ada,
sifat dua puluh dianggap cukup dalam mengantarkan pada keyakinan bahwa Allah
memiliki segala sifat kesempurnaan dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan.
Di samping substansi sebagian besar Shifat al-Dzat yang ada sudah ter-cover
dalam sifat dua puluh tersebut yang ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur'an,
sunnah dan dalil 'aqli.
Kelima, sifat dua puluh tersebut dianggap cukup dalam
membentengi akidah seseorang dari pemahaman yang keliru tentang Allah SWT.
Sebagaimana dimaklumi, aliran-aliran yang menyimpang dari faham Ahlussunnah
Wal-Jama'ah seperti Mu'tazilah, Musyabbihah, Mujassimah, Karramiyah dan
lain-lain menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk yang dapat menodai
kemahasempurnaan dan kesucian Allah. Maka dengan memahami sifat wajib dua puluh
tersebut, iman seseorang akan terbentengi dari keyakinan-keyakinan yang keliru
tentang Allah. Misalnya ketika Mujassimah mengatakan bahwa Allah itu bertempat
di Arsy, maka hal ini akan ditolak dengan salah satu sifat salbiyyah
yang wajib bagi Allah, yaitu sifat qiyamuhu binafsihi (Allah wajib
mandiri). Ketika Musyabbihah mengatakan bahwa Allah memiliki organ tubuh
seperti tangan, mata, kaki dan lain-lain yang dimiliki oleh makhluk, maka hal
itu akan ditolak dengan sifat wajib Allah berupa mukhalafatuhu lil-hawadits (Allah
wajib berbeda dengan hal-hal yang baru). Ketika Mu'tazilah mengatakan bahwa
Allah Maha Kuasa tetapi tidak punya qudrat, Maha Mengetahui tetapi tidak
punya ilmu, Maha Berkehendak tetapi tidak punya iradat dan lain-lain,
maka hal itu akan ditolak dengan sifat-sifat ma'ani yang jumlahnya ada
tujuh yaitu qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama', bashar
dan kalam. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain.[1] hal inilah mengapa menjadi penting memahami konsep sifat Alloh yang 20.
Sebagai penutup tulisan ini dapat
diberi kesimpulan, bahwa konsep tauhid yang di tanamkan pada diri kita oleh
para guru-guru ngaji kita itu ternyata konsep yang bersumber dan kuat dalam
penalaran yang sudah di uji kesahihannya oleh para Ulama.
Kedua, dengan konsep ini menambah
keteguhan akan kebenaran konsep-konsep sunni. Apalaigi ketika kita dihadapkan dengan
dialog dengan kalangan yang mengatasnamakan Agama untuk berupaya
“mengkafirkan”, dan hal ini hanya sebagai pembelaan diri bahwa kita juga punya
landasan beragama yang kuat dalam tradisi keilmuan para Ulama.
[1] Lihat pernyataan Hujjatul Islam al-Ghazali tentang
tujuan ilmu kalam dalam, al-Munqidz min al-Dhalal, Kairo: Dar
al-Ma'arif, 1998, hlm. 36, edisi Abdul Halim Mahmud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar